p

Kamis, 04 Oktober 2012

My Story: Anak Pembuat Batu Bata, Meraih Mimpinya



3 Oktober 2012, hari itu Allah mengijinkan aku terbang menggapai satu bintang di langitNya. Hari itu aku telah resmi dinyatakan lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan gelar A.Md (Ahli Madya) telah resmi terpampang di belakang namaku. Benar, namaku resmi menjadi Puguh Prayogi, A.Md.  Mungkin lebih lengkapnya Puguh Prayogi “anak pembuat batu bata”, A.Md. Lebih istimewa lagi, aku menjadi orang pertama yang menyelesaikan kuliah di desaku, atau aku lebih suka menyebutnya di kampung halamankku.
Sekolah, kuliah, dan meraih gelar adalah hal yang tidak pernah menjadi tradisi di keluargaku, bahkan di desaku. Desa Wonosari, sebuah desa yang letaknya hanya 10 kilometer dari jantung Kota Kebumen bukanlah desa yang bisa dibilang terpencil. Namun, paradigma  masyarakat di desa ini dalam memandang pendidikan sungguh seperti sebuah desa terpencil yang letaknya ratusan kilometer dari peradaban. Sekolah,lulus SMP, kerja seadanya, nikah. Itu adalah siklus umum yang selalu dipelihara turun temurun. Belakangan beberapa di antara kami ada yang telah berhasil keluar dari paradigm itu,yakni dengan melanjutkan sekollah di sekolah kejuruan setelah lulus SMP. Kehidupan yang lebih layak setidaknya telah berhasil  mereka dapatkan pasca menyelesaikan pendidikan di sekolah kejuruan dan bekerja.

          my life booster: ramane-biyunge

Kala itu, secara naluri aku pun berniat mendaftar di sekolah kejuruan setelah lulus dari SMP. Walaupun keadaan ekonomi keluargaku bisa dikatakan senin-kemis, bahkan kala itu hanya senin saja, kalau kamis nafasnya sudah tidak ada, aku dengan inisiatif sendiri mendaftar di sebuah sekolah kejuruan negeri di Kebumen. Dengan bekal uang tabunganku yang kala itu jumlahnya sekitar 500ribu rupiah, ditambah niat menuntut ilmu, aku berangkat.  Akan tetapi, Allah sepertinya telah memilihkan jalan lain yang lebih baik untukku walaupun dengan cara yang saat itu membuatku merasa kecewa. Rasa kecewa yang pada kemudian hari sangat pantas aku syukuri. Sebuah bekas cacar air di tangan kananku kala itu membuat panitia penerimaan siswa baru menganggap aku didiskualifikkasi. Mengapa? Karena mereka menganggap bekas cacar air sebesar  koin uang 500an itu mereka anggap sebagai rajah di tubuh. Dalam peraturan memang tertulis para calon siswa dilarang memiliki tato di tubuhnya. Sekuat tenaga aku mencoba menjelaskan bahwa rajah di tanganku itu bukan tato, tapi bekas cacar. Aku sempat sedikit menagis kala itu, tapi apa daya, mereka tak sedikitpun mempertimbangkan penjelasanku.


                                 kendaraan pribadiku
 
Aku pulang dengan gontai mengayun sadel sepeda ontelku, memendam rasa kecewa yang bisa saja aku letuskan pada siapa saja waktu itu. Namun, rencana rapi Allah benar-benar bekerja. Di tengah jalan pulang, secara tak sengaja aku lewat di depan SMA N 2 Kebumen, dan di depan gapuranya Nampak beberapa teman SMP ku tengah melihat jurnal pendaftaran. Sontak, aku menghampiri mereka dan singkat cerita mereka membujuk ku untuk mendaftar di sekolah itu. Tanpa berkonsultasi dengan orang tuaku, aku langsung mendaftar dan akhirnya diterima bahkan dengan posisi teratas alam jurnal akhir penerimaan. Saat aku memberitahukan ibu-bapak kalau aku diterima di SMA 2, mereka  nampak sedikit sedih dan bingung. 

Bukan rahasia kalau sekolah di SMA membutuhkan biaya tidak sedikit, belum lagi setelah lulus, entah aku akan bekerja menjadi apa karena  memang tidak diajarkan keahlian apapun di sana.
Di mana ada keinginan, di situ ada jalan. Pameo tua itu yang selalu aku pegang dan yakini dengan sepenuh hati. Ibuku kala itu berkata, “ibu hanya bisa membantu dengan doa, nak. Tapi kalau biaya, ibu hanya bisa membantu biaya makan, tidak untuk biaya sekolah”. Aku sempat down juga kala itu, terlebih uang tabunganku kala itu telah habis hanya untuk daftar ulang dan membayar biaya seragam. Baiklah, itu hanya bumbu dalam drama cinta menuntut ilmu, pikirku kala itu.

Benar saja, tak lama setelah resmi menjadi siswa SMA N 2 kebumen, kesempatan beasiswa pun datang. Berbekal beberapa piagam penghargaan yang aku dapat kala masih berbaju putih-biru, aku mendaftar dan mengikuti serangkain wawancara. Seperti pada pengalaman –pengalaman wawancara sebelumnya, aku selalu menceritakan kondisi keluarga dan ekonomi kami. Dan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya juga, pasti salah satu pewawancara ada yang hampir menangis mendengar kondisi keluarga ku. Entahlah, mungkin sedemikian buruknya kondisi keluarga ku. Pada akhir saga perebutan beasiswa itu, secara luar biasa aku berhasil mendapat beasiswa full selama satu tahun, yang pada dua tahun berikutnya juga berhasil aku dapatkan. Kabar gembira berikutnya kala itu adalah, kakaku yang telah merantau di Jakarta, bersedia member kiriman uang tiap bulan, walaupun jumlahnya kala itu tak seberapa.

Saat aku telah duduk di  kelas 2 SMA (kami menyebutnya kelas XI), aku mulai berfikir akan bekerja jadi apa pasca lulus nanti. Benar apa kata orang-orang, sekolah SMA itu nanggung, tak punya keahlian apa-apa, hanya menang gengsi saja. Pilihan untuk kuliah, telah jauh-jauh aku buang dari daftar pilihan melihat kondisi ekonomi keluargaku dibandingkan dengan mahalnya biaya kuliah. Secara spontanistas aku terpikir untuk berkonslutasi dengan guru BK. Ibu Zubaedah, guru BK yang kala itu mendengar keluh kesah ku, langsung menyarankan aku untuk melanjutkan kuliah di STAN . dari beliau aku tahu, kalau STAN kuliah gratis tis, dan setelah lulus akan langsung ditempatkan bekerja.  Sungguh  kala itu aku seperti mendapat embun sejuk di tengah gersangnya kegundahan hati. Selama ini hatiku memang benar, SELALU ADA JALAN.

Tapi, di tengah kabar gembira itu, Ibu Zubaedah juga tetap menyelipkan peringatan keras, kalau untuk diterima di STAN itu jauh dari kata mudah. Hanya 2.000 dari sekitar 100.000 pendaftar yang akan diterima setiap tahunnya. Sejak saat itu aku merenung, akankah aku masuk dalam barisan 2000 orang itu suatu saat nanti? Sejak saat itu juga, aku berusaha memantaskan diriku, mencoba mencari bekaql sebanyak-banyaknya untuk mengalahkan 98.000 musuh yang juga akan berjuang masuk kampus idaman itu. Mungkin terlalu dini memikirkan melanjutkan kuliah mengingat aku masih duduk di kelas XI kala itu, namun tak ada istilah terlalu dini hari untuk belajar dan mengejar mimpi.
Singkat cerita, aku lulus dari SMA dan mendaftar di STAN. Aku mendaftar dan mengikuti rangkaian tes di Semarang. Aku sengaja memilih Semarang karena di sana ada rumah sanak saudara yang bisa aku tinggali sementara aku mengikuti tes. Ini jauh lebih ekonomis daripada menyewa losmen atau penginapan.


Diterima STAN
Kala itu, pagi hari tanggal 1 September 2009. Hati ku cukup gelisah menanti pengumuman penerimaan STAN yang menurut jadwal akan diumumkan tepat pukul 11.00. pukul 07.30,  tiba-tiba telepon selulerku bordering yang ternayata itu panggilan dari Aziz, salah seorang teman SMA yang juga mendaftar USM STAN. Dengan tertawa dan agak gugup, dia membertahu kalau dia telah lulus USM STAN.  Hatiku makin penasaran. Langsung saja setelah itu, aku menuju warnet di depan stasiun. Aku buka situs usm.stan.ac.id, terus aku  masukan beberapa digit nomor pendaftaran. Tanganku dan seluruh tubuhku gemetar saat mengarahkan kursor untuk mengeklik tombol submit. Sekitar 10 detik kemudian, aku seperti gunung merapi yang meletus setelah melalui status waspada dan siaga, layar desktop tertulis
                                        PUGUH PRAYOGI
        SELAMAT ANDA DITERIMA DI SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
                        SPESIALISASI AKUNTANSI PEMERINTAHAN
                Kampus STAN: di sini aku menggapai bintang



Langsung aku berteriak, berlari keluar bilik warnet, dan tanpa sadar kala itu aku mencubit pipi penjaga warnet(hehe). Setelahnya aku berlari seolah tak sadar menuju rumah smabil berteriak sepanjang jalan, ‘Ibu, aku diterima STAN”. Ibuku yang mendengar teriakan ku, langsung saja meloncat meninggalkan pakaian yang tengah dicucinya terus memeluku dan menangis. ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR. Mungkin ini sedikit berlebihan, bahkan ada teman yang biasa saja saat mengeetahui kalau diterima STAN, tapi bagi aku dan keluargaku, diterima STAN adalah sesuatu yang sungguh hanya ada dalam mimpi dan kini telah hadir dalam dunia nyata. Kalau saja aku tidak diterima STAN, aku tak akan kuliah, dan tak akan punya kesempatan memperbaiki kondisi keluarga kami.
Aku begitu bangga saat menginjakan kaki pertama kali di kampus STAN. Ini aku, anak pembuat batu bata, yang tak punya harta apa-apa untuk dibawa, akan menggetarkanmu wahai dunia.
3 tahun yang akau jalani di sini bagai berenang dalam lautan mimpi yang tak selalu aku miliki. Sekolah gratis tanpa bekal harta dari orang tua, bukanlah waktu yang tepat untuk bermalas ria. Bermals-malas, berarti bunuh diri. Bukan hanya harus melawan malas untuk belajar di kelas, tapi juga harus mampu mengatasi malas melawan kerasnya kehidupan ibukota.
Kerja sampingan sebagai pengajar privat pun tak sungkan aku jalani. Dengan hasil yang minim tetap aku cukupkan untuk sekedar bertahan hidup di sini, yah setidaknya untuk 3 tahun ke depan.
Kadang aku merasa iri juga, melihat teman yang dengan sesuka hatinya menghamburkan uang kiriman orang tua mereka. Makan enak tiap hari tanpa harus memikirkan hari esok. Atau hanya  untuk sekedar menginjak-injak es batu (baca isc skating), menyodok-nyodok bola (baca bilyard) atau menggelindingkan  bola(baca bowling). Entahlah, itu tak ada gunanya untuk ingin menjadi mereka. Kebun tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau, tapi kebun sendiri pasti hasilnya lebih manis. Benar??
Lucunya, kebanyakan mereka selalu mengeluh saat akhir bulan kalau uang sudah menipis. Padahal, tiap hari adalah akhir bulan menurutku. Jambul, hahhaaaa
Anyway, sekarang aku telah melewati semua itu selama 3 tahun dan kini secara hokum aku telah resmi menyandang gelar A.Md.

Aku, anak pembuat batu bata, telah menaklukan dunia, bukan dunia mu, tapi duniaku, dunia yang kadang kejam tapi selalu mendewasakanku.
ALLAHUAKBAR

6 komentar:

  1. Josss.. Selamat Ya Guh.. Sukses selalu buat kamu....

    BalasHapus
  2. selamat ya Puguh... Perjalanan baru saja dimulai, tetaplah di jalan Allah dalam menggapai kesuksesan...

    BalasHapus
  3. You are awesome, mantap, semangat selalu guh :)

    BalasHapus
  4. siap, mari terus semangat dan berjuang kawan

    BalasHapus
  5. lho kok sebut namaku? mantep guh basane lhu... bisa inspirasi puguh2 lainnya (walau STAN tutup, plak!)

    BalasHapus