p

Senin, 28 Oktober 2013

Keluarga Yang Saya Pilih (Catatan Kaki Pegawai Magang KPP Pratama Kebumen)



Waktu cepat berlalu jika kau menikmati suasana. Saya selalu mencoba mengejawentahkan jargon tersebut dalam hal apapun, walau terkadang terasa berat.  Rasanya anda tak perlu mengungkit masa idah kami para alumni STAN 2012 yang panjangnya tiga kali lebih lama dari masa idah dalam definisi yang sebenarnya. Tentu saja, anda tak perlu mengingatkan kami akan hal itu, karena kami sekarang telah resmi mengakhiri masa penantian kami dengan dipersunting salah satu Ditjen paling bonafit di negeri ini, Direktorat Jenderal Pajak. 

Dan setelah melalui sederet alur birokrasi yang cukup “menghibur”, akhirnya kami resmi dimagangkan. Kami sempat diberi hak memilih tiga kandidat lokasi untuk dijadikan tempat magang, kemudian entah apa dan bagaimana proses penentuan lokasi magang dari pusat, saya mendapat lokasi magang di KPP Pratama Kebumen. Bagi saya ini tak banyak memberi kejutan karena KPP ini memang yang saya jadikan pilihan pertama sebelum KPP Purworejo dan Cilacap. Dan akhirnya, jalan takdir pula yang mempertemukan saya dengan ke 14 rekan sesama peserta magang tepat di hari Kesaktian Pancasila tahun ini. Sebagian dari mereka sudah tak asing bagi saya, bahan beberapa di antaranya merupakan teman seperjuangan selama 3 tahun menempuh pendidikan di kampus Ali Wardhana. Sebagian lagi memang masih asing bagi saya, tapi saya tetap yakin mereka adalah rekan satu almamater yang tentu memiliki visi dan misi serupa dengan saya.
Hari pertama masuk kerja dan berada di lingkungan baru, memang terasa aneh. Ibarat gelombang radio, saya mungkin perlu melakukan penyetelan frekuensi agar terjadi resonansi antara hati saya dan mereka yang ada di sekitar saya. Namun, hal serupa tak perlu dilakukan beberapa di antara kami. Sebagian dari kami yang baru dimagangkan, telah terlebih dahulu melakukan magang mandiri di tempat ini sejak beberapa waktu lalu. 

Hari pertama kami lalui dengan layaknya penduduk baru yang mesti berkeliling  menyapa satu per satu penduduk lama sambil mengenalkan diri. Saya pun tahu ini hanya tradisi saja, karena muskil bagi kami dan mereka para penghuni lama untuk sekedar saling mengingat nama hanya dari satu jabat tangan dan menyebut nama panggilan masing-masing. Waktu lah yang mungkin akan membuat kami saling mengenal dan tahu satu sama lain. Namun, ada kalanya kau tak perlu memikirkan untuk apa kau melakukan sesuatu, selama kau tahu dampak dari yang kau buat tak akan berakhir buruk. Karena saya tahu ini tradisi yang sudah menjadi norma yang umum, saya pun pasrah saja. Hasilnya? Mungkin hanya satu atau dua orang saja yang saya ingat nama dan orangnya, sisanya “ambyar”. Bahkan sesama pegawai magangpun, saya belum hafal satu per satu namanya kala itu.

Selayaknya komponen baru dari suatu sistem,kami pun tak banyak mendapat tugas kompleks di masa awal kedatangan kami. Hanya beberapa tugas klerikal yang mereka percayakan untuk kami tangani. Bahkan beberapa di antara kami tak tahu apa yang mesti dikerjakan dan mesti berbuat apa. Saat situasi yang umum terjadi ini benar-benar terjadi, bergerombol untuk sekedar menutupi kalau kami tak ada kerjaan pun jadi pilihan nomor wahid. Lain cerita dengan mereka yang telah terlebih dahulu “mencuri” start magang di tempat ini, orang wam tak akan tahu kalau mereka masih berstatus magang karena sibuknya mereka bekerja. Mereka seperti sudah menyatu dengan sistem yang ada, sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, mereka telah melakukan resonansi hati dengan lingkungan ini. 

Waktu ba’da shalat ashar adalah waktu yang paling saya tunggu. Saya tak tahu bagaimana dengan mereka, tapi waktu sore menjelang senja ini adalah momen paling menyenangkan dalam 9,5 jam waktu kerja di kantor. Anda mungkin masih ingat masa kecil saat bermain dengan teman seusia tanpa membedakan latar belakang dan gender? Yup, saya mendapatkannya (lagi) di sini. Sejak masa-masa sekolah menengah sampai kuliah, bermain olahraga bersama antara wanita dan laki-laki adalah hal yang mungkin sangat jarang ditemui. Tapi di sini, kami tak peduli laki-laki atau wanita, asal anda mau, anda bisa bermain voli bersama-sama. Belakangan, bola pimpong juga masuk dalam olahraga yang kami mainkan bersama. Skill dan keahlian dalam bermain, bukan menjadi hal yang penting di sini. Yang terpenting adalah kemauan untuk berbaur, dan anda akan merasakan sensasinya. Tak perlu takut akan ditertawakan karena tidak bisa atau melakukan keslahan,karena  kalau diperhatikan, kami justru lebih banyak tertawa daripada bermain dengan mestinya. Yah, seperti yang saya katakan, ,ini lah sensasinya. 

Tak terasa, hampir satu bulan telah kami lalui bersama. Ini adalah hidup dan keluarga baru saya. Saya tak perlu bertanya  pada mereka menganggap saya seperti apa. Tapi, bagi saya mereka adalah keluarga saya. Saya ingat salah satu kutipan dari Novel Lupus. Dalam hidup ini, kita punya dua jenis keluarga, yaitu keluarga karena takdir, dan keluarga yang kalian pilih. Keluarga karena takdir, yaitu bapak, ibu,kakak,adik, dan saudara-saudara kalian. Sedangkan keluarga yang kau pilih, adalah mereka yang kau anggap istimewa dan memiliki tempat sendiri di hatimu. Dan bagi saya, kalian rekan-rekan magang, adalah keluarga yang saya pilih dan kalian selalu istimewa di hati saya. Suatu saat kau mungkin tak akan hidup dengan orang yang kau cintai, tapi dengan orang yang kau pilih.