p

Kamis, 25 Oktober 2012

Bisa Berkurban Karena Shalat Dhuha, Alhamdulillah


Alhamdulillah, itu satu-satunya kata yang bisa saya ucapkan. Sebuah niat yang telah saya utarakan dalam hati setahun lalu, akhirnya bisa terlaksana. Luar biasa, itu prolog yang paling tepat untuk ilustrasi apa yang terjadi pada saya di lebaran haji tahun ini.

Ya, alhamdulilllah, dengan tabungan sendiri tahun ini saya berhasil membeli satu ekor kambing untuk berkurban. Kurban yang pada awal niat saya akan dikurbankan untuk bapak saya, akhirnya saya niatkan untuk kurban diri sendiri setelah bapak dengan lugas menjawab pertanyaan saya untuk menerima kambing yang saya beli, “tahun ini kamu dulu saja, tahun depan kalau ada rejeki baru bapak dan ibu kurban bareng-bareng”, Insya Allah, Aamiin.

Keberhasilan berkurban tahun ini merupakan suatu berkah yang tak terkira. Mulai dari nol saya berusaha menabung, dan itu terasa berat mengingat status saya yang sebagai mahasiswa, bukan pegawai yang tiap bulan mendapat gaji dan upah. Pun sebagai mahasiswa, kiriman dari orang tua saya tidak pernah mencukupi seperti teman-teman saya pada umumnya. Jika teman-teman di kampus saya rata-rata mendapat kiriman tiap bulan 700ribu-1,5 juta, maka saya hanya mendapat sekitar 300ribu dari kakak saya, itupun tidak setiap bulan saya mendapatkannya. Sementara orang tua saya, sudah sejak awal saya kuliah saya sama sekali tidak mendapat kiriman dari mereka. Jadi,kiriman bersih saya hanya mendappat 300ribu dari kakak saya. Nah, untuk menopang biaya hidup selama kuliah, saya mencoba mencari sampingan dari mengajar privat, dan dari itu semua setiap bulan saya bisa menyisihkan 100-150ribu untuk menabung. Dan Alhamdulillah, sampai pada bulan dzulhijah ini, uang saya telah terkumpul dan bisa membeli satu kambing kualitas super yang saya niatkan untuk berkurban. Subhanallah.

Yah, tentu saja tidak cukup hanya dengan saya menabung dan bisa tercapai niatan saya ini. Adalah amalam shalat dhuha saya yang saya yakin telah menopang tercapainya niat saya ini. Adalah Allah yang telah menuntun saya untuk mengenal ustad Yusuf Mansur yang begitu getol mengajak para santrinya untuk melaksanakan shalat dhuha tiap hari. Bahkan beliau juga yang memiliki inisiatif melakukan gerakan shalat dhuha bersama seluruh Indonesia. Saya yang biasanya pelit untuk membeli buku, pun pada akhirnya rajin mengoleksi buku-buku karangan beliau, khususnya yang terkait shalat dhuha. Walaupun tidak bisa setiap hari saya menjalankan shalat dhuha ini, yah setidaknya dalam seminggu saya bisa mencapai 20 rakaat shalat dhuha. Dan hasilnya? Luar biasa, Allah benar-benar menjaga tabungan yang saya niatkan untuk berkurban itu. Satu pengeluaran besar tahun ini yang bisa menguras tabungan saya yakni wisuda. Tapi, Alhamdulillah 
 Allah menunjukan jalan pada saya yang pada akhirnya wisuda saya seperti digratiskan. Subhanallah.

Yap, ini bukan untuk pamer atau untuk menunjukan apapun yang memiliki tendnsi buruk kawan. Saya hanya ingin membagi pengalaman saya yang berharga dan semoga kawan-kawan bisa mengambil manfaat dari kisah saya. Namun, apapun kelebihan dan manfaat yang bisa diambil, itu semua datang dari Allah. Allahuakbar

Rabu, 17 Oktober 2012

Serial Upin-Ipin: Potret Kehidupan Masa Kecil Saya, Kok Bisa???



Pertengahan tahun 2009, para insan penikmat televisi di Indonesia mendapat invasi dari negeri tetangga, Malaysia yakni dengan mulai tayangnya sebuah acara animasi keluarga yang bertajuk Upin-Ipin. Saya rasa hampir semua masyarakat Indonesia, setidaknya mereka yang terjangkau dengan siaran televisi nasional pasti tau serial animasi ini dan alur ceritanya. Ya, dua anak kembar berkepala plontos ini dengan cepat menjadi begitu tenar di Indonesia, bukan hanya di layar tv, belakangan muncul pernak-pernik bertema Upin-Ipin mulai dari buku dengan sampul Upin-Ipin, kaos, boneka, dan bahkan ada makanan ringan yang secara jelas memasang merk Upin-Ipin dengan gambar dua tokoh tersebut di bungkusnya. Luar biasa!
 Sebenarnya alur dan cerita serial ini sangat sederhana, bahkan cenderung hanya apa adanya menggambarkan kepolosan dan tingkah laku keseharian anak-anak usia awal masuk sekolah dengan sedikit bumbu guyonan yang memang sering terjadi secara sengaja maupun tidak dalam kehidupan mereka. 


Indonesia bukannya tak mampu membuat serial TV semacam itu. Mungkin teman-teman pernah dengar serial Kabayan dan Lip-Lap yang pernah tayang di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Sebenarnya idenya cukup bagus, mengangkat tokoh Kabayan kecil yang sudah cukup dikenal di Indonesia. Sayangnya, acara ini terkesan “lebay”, “khayal”, dan berlebihan. Bukan kehidupan sehari-hari si Kabayan yang nampak dalam alur cerita, namun latar dibuat dalam era di mana seolah Kabayan telah hidup dalam era yang sudah sedemikian canggih dan modern, dengan Lip-Lap (seekor kunang-kunang bicara yang jadi asisten kabayan) dan Profesor Tekno sebagai tokoh pelengkap. Hal ini lah yang membuat serial ini kurang populer di mata penikmat TV dan akhirnya berhenti tayang. 

Satu lagi serial yang juga pernah rilis dengan target menyaingi Upin-Ipin yakni Simba dan Sahabat. Serial ini menceritakan kehidupan sehari-hari seorang santri bernama Simba dan teman-temannya di sebuah pondok pesantren. Serial ini pun akhirnya berhenti tayang, bahkan sangat tragis karena hanya tayang selama sebulan, itu pun bukan di jam utama tayang televisi. Kualitas animasi yang apa adanya dan cerita yang kurang dinamis rasanya bisa jadi jawaban atas pertanyaan mengapa serial ini berhenti tayang.

Mungkin satu-satunya serial made in Indonesia yang bisa sedikit menyaingi Upin-Ipin yakni serial Si Unyil. Tokoh boneka kayu yang sempat nge-hits di tahun 80-an ini dikemas ulang dalam serial laptop Si Unyil. Awal kemunclan unyil di akhir tahun 70-an, adalah menceritakan kehidupan sehar-hari anak SD bernama Unyil bersama teman-temanya di sebuah desa pinggiran kota. Serial ini begitu booming kala itu, bahkan hampir semua orang kala itu dan sampai sekarang setidaknya hafal dengan tokoh-tokohnya. Sebut saja Unyil, Usro, Pak Raden, dan pak Ogah.  Tokoh Unyil begitu melegenda bahkan namanya sering menjadi julukan bagi anak yang badannya kecil menyerupai boneka unyil yang memang sangat kecil.  Begitu juga pak Ogah, namanya sering disebut untuk orang-orang yang malas melakukan pekerjaan (ogah-ogahan), sesuai karakter pak Ogah dalam serial si Unyil. Versi re-make unyil yang sekarang memasuki tahun ke-6 penayangan, dibuat berbeda dengan versi aslinya. Yakni dengan lebih banyak memasukan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam acara dan hal ini cukup bisa meminta sedikit tempat di hati insan pertelevisian nasional.

Kembali ke Upin-Ipin, walaupun awalnya serial ini menyasar anak-anak usia 5-10 tahun, namun pada faktanya banyak orang dewasa dan remaja yang menggandrunginya. Saya pribadi, begitu suka menonton serial ini karena alur ceritanya yang seakan nyata mengingatkan saya pada masa-masa awal masuk sekolah dasar dulu. Saya tidak tahu apakah serial ini diambil dari kehidupan anak-anak di Malaysia sana atau pembuat cerita pernah mengalami kehidupan anak-anak di Indonesia, tapi yang jelas, latar dan alur cerita serial ini begitu mengena dan pas porsinya.

1. Bulan Puasa
Awal munculnya serial Upin-Ipin di pertelevisian nasional adalah ketika bulan puasa tahun 2009. Sehingga, judul serial yang diputar pun dengan latar para tokoh sedang dalam ibadah bulan puasa. Saya ingat saat kecil, saat masih duduk di Taman Kanak-kanak di mana ibu saya mengajari puasa untuk pertama kali. Walaupun berat, lemas, dan ogah-ogahan,toh akhirnya kuat sampai bedug maghrib. Sebenarnya kala itu belum wajib bagi anak seusia saya untuk berpuasa, tapi kata ibu, harus latihan dari sekarang dan akan mendapat pahala. Terlebih, ada beberapa teman seusia saya yang belum puasa bahkan terang-terangan makan di depan saya ketika saya sedang puasa. Hal-hal ini begitu nyata dimainkan dalam serial Upin-Ipin. Hal yang serupa juga terjadi saat hari raya, saya dan teman-teman pergi keliling desa sambil berharap salam temple dari para rang tua. Pun demikian yang dicertiakan dalam Upin-Ipin. Saat malm hari, di mana orang-orang tua tengah salat tarawih. Upin-Ipin dan temen-temannyya justru asyik bermain petasan dan kejar-kejaran yang pada akhirnya mereka diingatkan orang tua untuk masuk ke mesjid dan jangan rebut lagi. Hal itu pun saya alami kala itu.

2. Permainan Masa Kecil
Layakya anak kecil,  hal yang paling disukai tentu adalah bermain. Tidak seperti anak-anak jaman sekarang yang telah diracuni ipad dan BB sejak dini, permainan dalam serial Upin-Ipin yang yang juga pernah  saya mainkan sungguh jauh lebih mantap. Permainan yang paling sering tentu petak umpet. dalam salah satu episode diceritakan salah satu tokoh bernama Mail bersembunyi dan Ehsan (tokoh yang jadi pencari) tak jua menemukan Mail. Hinggga akhirnya Ehsan ngmbek dan berhenti bermain. Hal ini juga saya alami waktu kecil, di mana kalau ada anak yang sering jadi kucing(istilah untuk menyebut anak yang sembunyi selalu ketahuan dan akhirnya jadi pencari terus), pasti berhenti bermain dan tak jarang menangis dalam permainan. Haha…

Permainan selanjutnya yakni masak-masakan. Di mana tokoh perempuan bernama Mei-Mei sangaat suka dengan permainan ini dan sering memaksa teman-temannya yang laki-laki untuk ikut bermain, padahal mereka seeding asik bermain kelereng (kalau di desaku namanaya dir-diran). Permainan berikutnya adalah Gobyak Sandal. Aturan permainan ini baik dalam serial Upin-Ipin maupun yang saya mainkan dulu sama. Anak-anak dibagi dalam dua tim, masing-masing terdiri 5-7 anak di mana ada tim jaga dan tim lempar. Tim lempar berusaha menyusun sandal-sandal berjumlah 5-7 buah menjadi sebuah kerucut. Hal ini tak mudah karena tim jaga memiliki satu sandal yang apabila dilempar dan mengenai tubuh anggota tim lempar, maka dia harus berhenti bermain.

Satu lagi permainan unik yang saya piker hanya ada di desaku, tapi ternyata di serial ini juga ada yakni main tarik rumput. Permainannya cukup sederhana, ambil sehelai rumpu dengan ujung bercabang dua, lalu ikat kedua ujung cabang hingga menyerupai raket tanpa senar, lalu teman lain membuat hal serupa dan akan diadu dengan punya kita. Caranya, masukan ujung pegangan ke lingkaran rumput punya teman, lalu teman kita juga melakukan hal serupa. Kemudian saling tari, dan rumput yang putus itulah yang kalah.

3. Mitos Masa Kecil
Selain kehidupan yang begitu nyata dan dinamis, mitos-mitos masa kecil yang dulu moncer di masa saya kecil, ternyata juga ada di serial ini. Yang pertama yakni mitos tentang hantu. Dalam salh satu episode diceritakan upin-ipin pulamng ngaji malam hari bersama teman-temanya. Kemudian mereka berlari kala melewati pekarangan yang gelap karena takut dengan hantu. Hahha, ternyata hal inipun saya lakukann waktu kecil dulu.

Selanjutnya yakni tentang sunat itu sakit. Sebelum saya disunat tahun 2003 silam, saya sempat minta pada ibu agar tidak usah disunat karena takut sakit. Alasan saya kala itu yakni kalau saya kehabisan darah terus mati bagaimana?? Haha. Upin-Ipin pun mangalami hal serupa, bahkan dalam salah satu adegan terlihat anak yang berteriak dan lari ketika sudah masuk ruang dokter sunat.
Berikutnya, suasana saat mati lampu. Diceritakan tokoh Upin-Ipin ketakutan saat matilampu samapi kemudian tokoh kak Ross menyalakan lilin. Selanjutnya, saat tangan didekatkan ke cahaya lilin, maka akan muncul bayangan besar di tembok dari gerakan tangan kita. Dengan mengepalkan kedua tanngan saja bisa diciptakan bayangan menyerupai rusa, burung, kambing, kelinci, dan sebagainya. Wah wah, subhanallah, waktu kecil pun saya melakukan hal serupa. Mungkin saya perlu bertanya kepada pembuat tokoh Upin-Ipin apakah dia menginti kehidupan masa kecil saya??

Entahlah, saya secara pribadi dan mungkin teman-teman juga merasa kok bisa ya Upin-Ipin begitu nyata menggambarkan cerita masa kecil kita. Mungkin yang tidak ada di sini hanya kesukaan anak-anak masa saya kecil melindaskan paku di rel kereta api untuk membuat keris-kerisan. Yah, mungkin karena latar Upin-Ipin jauh dari rel kereta api dan stasiun. Tapi, selebihnya hampir sama, bahkan mirip. Subhanalla, masa kecil memang menyenangkan dan tak mungkin akan terulang. Tapi kalau mau memutar ulangnya, tonton saja Upin-Ipin, setidaknya ini bagi saya. Bagaiman dengan kamu???

Kamis, 04 Oktober 2012

My Story: Anak Pembuat Batu Bata, Meraih Mimpinya



3 Oktober 2012, hari itu Allah mengijinkan aku terbang menggapai satu bintang di langitNya. Hari itu aku telah resmi dinyatakan lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan gelar A.Md (Ahli Madya) telah resmi terpampang di belakang namaku. Benar, namaku resmi menjadi Puguh Prayogi, A.Md.  Mungkin lebih lengkapnya Puguh Prayogi “anak pembuat batu bata”, A.Md. Lebih istimewa lagi, aku menjadi orang pertama yang menyelesaikan kuliah di desaku, atau aku lebih suka menyebutnya di kampung halamankku.
Sekolah, kuliah, dan meraih gelar adalah hal yang tidak pernah menjadi tradisi di keluargaku, bahkan di desaku. Desa Wonosari, sebuah desa yang letaknya hanya 10 kilometer dari jantung Kota Kebumen bukanlah desa yang bisa dibilang terpencil. Namun, paradigma  masyarakat di desa ini dalam memandang pendidikan sungguh seperti sebuah desa terpencil yang letaknya ratusan kilometer dari peradaban. Sekolah,lulus SMP, kerja seadanya, nikah. Itu adalah siklus umum yang selalu dipelihara turun temurun. Belakangan beberapa di antara kami ada yang telah berhasil keluar dari paradigm itu,yakni dengan melanjutkan sekollah di sekolah kejuruan setelah lulus SMP. Kehidupan yang lebih layak setidaknya telah berhasil  mereka dapatkan pasca menyelesaikan pendidikan di sekolah kejuruan dan bekerja.

          my life booster: ramane-biyunge

Kala itu, secara naluri aku pun berniat mendaftar di sekolah kejuruan setelah lulus dari SMP. Walaupun keadaan ekonomi keluargaku bisa dikatakan senin-kemis, bahkan kala itu hanya senin saja, kalau kamis nafasnya sudah tidak ada, aku dengan inisiatif sendiri mendaftar di sebuah sekolah kejuruan negeri di Kebumen. Dengan bekal uang tabunganku yang kala itu jumlahnya sekitar 500ribu rupiah, ditambah niat menuntut ilmu, aku berangkat.  Akan tetapi, Allah sepertinya telah memilihkan jalan lain yang lebih baik untukku walaupun dengan cara yang saat itu membuatku merasa kecewa. Rasa kecewa yang pada kemudian hari sangat pantas aku syukuri. Sebuah bekas cacar air di tangan kananku kala itu membuat panitia penerimaan siswa baru menganggap aku didiskualifikkasi. Mengapa? Karena mereka menganggap bekas cacar air sebesar  koin uang 500an itu mereka anggap sebagai rajah di tubuh. Dalam peraturan memang tertulis para calon siswa dilarang memiliki tato di tubuhnya. Sekuat tenaga aku mencoba menjelaskan bahwa rajah di tanganku itu bukan tato, tapi bekas cacar. Aku sempat sedikit menagis kala itu, tapi apa daya, mereka tak sedikitpun mempertimbangkan penjelasanku.


                                 kendaraan pribadiku
 
Aku pulang dengan gontai mengayun sadel sepeda ontelku, memendam rasa kecewa yang bisa saja aku letuskan pada siapa saja waktu itu. Namun, rencana rapi Allah benar-benar bekerja. Di tengah jalan pulang, secara tak sengaja aku lewat di depan SMA N 2 Kebumen, dan di depan gapuranya Nampak beberapa teman SMP ku tengah melihat jurnal pendaftaran. Sontak, aku menghampiri mereka dan singkat cerita mereka membujuk ku untuk mendaftar di sekolah itu. Tanpa berkonsultasi dengan orang tuaku, aku langsung mendaftar dan akhirnya diterima bahkan dengan posisi teratas alam jurnal akhir penerimaan. Saat aku memberitahukan ibu-bapak kalau aku diterima di SMA 2, mereka  nampak sedikit sedih dan bingung. 

Bukan rahasia kalau sekolah di SMA membutuhkan biaya tidak sedikit, belum lagi setelah lulus, entah aku akan bekerja menjadi apa karena  memang tidak diajarkan keahlian apapun di sana.
Di mana ada keinginan, di situ ada jalan. Pameo tua itu yang selalu aku pegang dan yakini dengan sepenuh hati. Ibuku kala itu berkata, “ibu hanya bisa membantu dengan doa, nak. Tapi kalau biaya, ibu hanya bisa membantu biaya makan, tidak untuk biaya sekolah”. Aku sempat down juga kala itu, terlebih uang tabunganku kala itu telah habis hanya untuk daftar ulang dan membayar biaya seragam. Baiklah, itu hanya bumbu dalam drama cinta menuntut ilmu, pikirku kala itu.

Benar saja, tak lama setelah resmi menjadi siswa SMA N 2 kebumen, kesempatan beasiswa pun datang. Berbekal beberapa piagam penghargaan yang aku dapat kala masih berbaju putih-biru, aku mendaftar dan mengikuti serangkain wawancara. Seperti pada pengalaman –pengalaman wawancara sebelumnya, aku selalu menceritakan kondisi keluarga dan ekonomi kami. Dan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya juga, pasti salah satu pewawancara ada yang hampir menangis mendengar kondisi keluarga ku. Entahlah, mungkin sedemikian buruknya kondisi keluarga ku. Pada akhir saga perebutan beasiswa itu, secara luar biasa aku berhasil mendapat beasiswa full selama satu tahun, yang pada dua tahun berikutnya juga berhasil aku dapatkan. Kabar gembira berikutnya kala itu adalah, kakaku yang telah merantau di Jakarta, bersedia member kiriman uang tiap bulan, walaupun jumlahnya kala itu tak seberapa.

Saat aku telah duduk di  kelas 2 SMA (kami menyebutnya kelas XI), aku mulai berfikir akan bekerja jadi apa pasca lulus nanti. Benar apa kata orang-orang, sekolah SMA itu nanggung, tak punya keahlian apa-apa, hanya menang gengsi saja. Pilihan untuk kuliah, telah jauh-jauh aku buang dari daftar pilihan melihat kondisi ekonomi keluargaku dibandingkan dengan mahalnya biaya kuliah. Secara spontanistas aku terpikir untuk berkonslutasi dengan guru BK. Ibu Zubaedah, guru BK yang kala itu mendengar keluh kesah ku, langsung menyarankan aku untuk melanjutkan kuliah di STAN . dari beliau aku tahu, kalau STAN kuliah gratis tis, dan setelah lulus akan langsung ditempatkan bekerja.  Sungguh  kala itu aku seperti mendapat embun sejuk di tengah gersangnya kegundahan hati. Selama ini hatiku memang benar, SELALU ADA JALAN.

Tapi, di tengah kabar gembira itu, Ibu Zubaedah juga tetap menyelipkan peringatan keras, kalau untuk diterima di STAN itu jauh dari kata mudah. Hanya 2.000 dari sekitar 100.000 pendaftar yang akan diterima setiap tahunnya. Sejak saat itu aku merenung, akankah aku masuk dalam barisan 2000 orang itu suatu saat nanti? Sejak saat itu juga, aku berusaha memantaskan diriku, mencoba mencari bekaql sebanyak-banyaknya untuk mengalahkan 98.000 musuh yang juga akan berjuang masuk kampus idaman itu. Mungkin terlalu dini memikirkan melanjutkan kuliah mengingat aku masih duduk di kelas XI kala itu, namun tak ada istilah terlalu dini hari untuk belajar dan mengejar mimpi.
Singkat cerita, aku lulus dari SMA dan mendaftar di STAN. Aku mendaftar dan mengikuti rangkaian tes di Semarang. Aku sengaja memilih Semarang karena di sana ada rumah sanak saudara yang bisa aku tinggali sementara aku mengikuti tes. Ini jauh lebih ekonomis daripada menyewa losmen atau penginapan.


Diterima STAN
Kala itu, pagi hari tanggal 1 September 2009. Hati ku cukup gelisah menanti pengumuman penerimaan STAN yang menurut jadwal akan diumumkan tepat pukul 11.00. pukul 07.30,  tiba-tiba telepon selulerku bordering yang ternayata itu panggilan dari Aziz, salah seorang teman SMA yang juga mendaftar USM STAN. Dengan tertawa dan agak gugup, dia membertahu kalau dia telah lulus USM STAN.  Hatiku makin penasaran. Langsung saja setelah itu, aku menuju warnet di depan stasiun. Aku buka situs usm.stan.ac.id, terus aku  masukan beberapa digit nomor pendaftaran. Tanganku dan seluruh tubuhku gemetar saat mengarahkan kursor untuk mengeklik tombol submit. Sekitar 10 detik kemudian, aku seperti gunung merapi yang meletus setelah melalui status waspada dan siaga, layar desktop tertulis
                                        PUGUH PRAYOGI
        SELAMAT ANDA DITERIMA DI SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
                        SPESIALISASI AKUNTANSI PEMERINTAHAN
                Kampus STAN: di sini aku menggapai bintang



Langsung aku berteriak, berlari keluar bilik warnet, dan tanpa sadar kala itu aku mencubit pipi penjaga warnet(hehe). Setelahnya aku berlari seolah tak sadar menuju rumah smabil berteriak sepanjang jalan, ‘Ibu, aku diterima STAN”. Ibuku yang mendengar teriakan ku, langsung saja meloncat meninggalkan pakaian yang tengah dicucinya terus memeluku dan menangis. ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR. Mungkin ini sedikit berlebihan, bahkan ada teman yang biasa saja saat mengeetahui kalau diterima STAN, tapi bagi aku dan keluargaku, diterima STAN adalah sesuatu yang sungguh hanya ada dalam mimpi dan kini telah hadir dalam dunia nyata. Kalau saja aku tidak diterima STAN, aku tak akan kuliah, dan tak akan punya kesempatan memperbaiki kondisi keluarga kami.
Aku begitu bangga saat menginjakan kaki pertama kali di kampus STAN. Ini aku, anak pembuat batu bata, yang tak punya harta apa-apa untuk dibawa, akan menggetarkanmu wahai dunia.
3 tahun yang akau jalani di sini bagai berenang dalam lautan mimpi yang tak selalu aku miliki. Sekolah gratis tanpa bekal harta dari orang tua, bukanlah waktu yang tepat untuk bermalas ria. Bermals-malas, berarti bunuh diri. Bukan hanya harus melawan malas untuk belajar di kelas, tapi juga harus mampu mengatasi malas melawan kerasnya kehidupan ibukota.
Kerja sampingan sebagai pengajar privat pun tak sungkan aku jalani. Dengan hasil yang minim tetap aku cukupkan untuk sekedar bertahan hidup di sini, yah setidaknya untuk 3 tahun ke depan.
Kadang aku merasa iri juga, melihat teman yang dengan sesuka hatinya menghamburkan uang kiriman orang tua mereka. Makan enak tiap hari tanpa harus memikirkan hari esok. Atau hanya  untuk sekedar menginjak-injak es batu (baca isc skating), menyodok-nyodok bola (baca bilyard) atau menggelindingkan  bola(baca bowling). Entahlah, itu tak ada gunanya untuk ingin menjadi mereka. Kebun tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau, tapi kebun sendiri pasti hasilnya lebih manis. Benar??
Lucunya, kebanyakan mereka selalu mengeluh saat akhir bulan kalau uang sudah menipis. Padahal, tiap hari adalah akhir bulan menurutku. Jambul, hahhaaaa
Anyway, sekarang aku telah melewati semua itu selama 3 tahun dan kini secara hokum aku telah resmi menyandang gelar A.Md.

Aku, anak pembuat batu bata, telah menaklukan dunia, bukan dunia mu, tapi duniaku, dunia yang kadang kejam tapi selalu mendewasakanku.
ALLAHUAKBAR