p

Minggu, 07 September 2014

Update Patch Winning Eleven 9 (WE9) 2014/2015 (WE9 Versi PES 2015)

Salam Olahraga
Alhamdulillah, di tengah-tengah kesibukan sebagai abdi negara, ane masih sempet ngotak-atik patch game kesayangan ane ini gan, Winning Eleven 9 a.k.a WE9 atau PES 5 versi PES 2015 atau juga FIFA 2015.
Sebenernya ane agak jarang main game ini gan, lebih suka main PES 2015 atau FIFA 2015, tapi karena versi terbaru game WE9 udah gak keluar tiap tahun kaya game PES dan FIFA, ane sempetin deh ngedit patch game legendaris ini,

Ane udah sebisa mungkin bikin se-update-updatenya gan, kalopun masih ada kekurangan mohon dimaklumi ya, soalnya sekarang ane udah gak kaya taun sebelumnya, ane udah krja jadi pns gan , hehe...

Oke langsung aja gan, ini ane kasih updatean Winning Eleven 9 terbaru buat musim 2014/2015.

1. Download patch update WE 9 di sini (via mediafire) atau bisa juga
di sini (via 4shared)

2. File yang udah di download, di-copy (atau di-cut terserah, tapi lebih aman di-copy aja)  terus buka My computer-->/C-->Program File-->trus cari folder Konami-->WE 9-->Save-->Folder1 (nah, terus paste deh di situ). Jangan lupa, patch yang sebelumnya dihapus dulu. Kalo ga, biasanya pas di-paste akan ada peringatan apakah mau meremove existing file, klik yes aja.

3. Buat yang main pake WE 9 versi RIP (ane juga pake yang ini, lebih enteng di netbook)  lakukan hal serupa dengan langkah ke-2, cuman biasanya folder yang dicari ada di My Document-->Konami-->Save-->Folder1.
4. Oh ya, buat yang main pakai PES 5, tenang aja, patch updetan ini juga bisa dipake kok, cukup ganti nama file yang udah di-download (KONAMI-WIN32WE9UOPT) ganti dengan nama KONAMI-WIN32PES5UOPT, terus lakukan seperti langkah pada nomor 2.

nih ane kasih beberapa screenshot gan

Jangan Lupa Ninggalin Komen gan, semoga bermanfaat, maaf kalo ada kekurangan dan kurang berkenan, soalnya bursa transfer berikut ane ga janji bisa upload patch lagi, agak capek gan, ane prefer main pes atau fifa aja deh yang tinggal install, hehe....

 Salam Olahraga

Minggu, 09 Maret 2014

Saya Tak Membaur Bukan Karena Saya Angkuh




KPP Pratama Kebumen, tak terasa hampir  enam bulan kantor ini menjadi “sekolah” saya yang baru. Sekolah yang mengajarkan betapa beragamnya sifat orang di luar sana, betapa begitu banyak orang hebat dan orang baik di sekitar kita, namun memberi alarm peringatan bahwa di mana ada orang yang baik, pasti ada orang yang “tidak terlalu baik”, atau “belum menjadi baik”. Tempat ini mengingatkan bahwa dunia kerja akan tetap dan akan selalu seperti lautan yang sangat sukar diprediksi.

Hari pertama saya masuk “kerja”, salah seorang pegawai senior membeberkan beberapa pengalamannya  selama menjadi abdi negara. Satu poin penting yang saya tangkap dari hasil pembicaraan kami adalah, sebagai pegawai “rendahan” yang akan selalu dimutasi dari satu titik ke titik yang lain, saya harus punya tabungan. Belau bercerita suatu masa ditempatkan di Papua, dan baru beberapa hari di sana langsung disuruh diklat di Jakarta. Memang ongkos dan biaya akomodasi akan ditanggung pemerintah nantinya, tapi kata “nanti” tidak pernah bisa ditebak kapan terjadi. Simpulannya adalah, untuk beberapa waktu, semua ongkos harus ditanggung sendiri, dan kondisi terburuk  adalah, kalau saya tidak punya ongkos, lantas dengan apa saya membayar biaya yang  tidak bisa dibilang sedikit ini?

Sebagian dari anda mungkin menjawab, “gampang, tinggal minta orang tua”., atau “pinjam dulu sama saudara, nanti  kan dikembalikan”.  Kedua opsi tersebut memang benar, tapi keduanya tak berlaku bagi saya. Meminta uang pada orang tua sama saja dengan menambah berat beban orang tua yang selama ini sudah begitu berat. Meminta kepada saudara? Saudara yang mana? kalaupun ada, mereka bisa member I satu dengan syarat saya bisa mengembalikan dua. 

Menabung, adalah satu-satunya opsi yang tersedia bagi saya. Uang tunggu setiap bulan memang tak seberapa jumlahnya, bahkan saat saya masih kuliah saya bisa mendapat jauh lebih besar  dari hasil mengajar privat. Tapi sekecil apapun jumlahnya, kalau setiap bulan saya rajin menyisihkan beberapa bagian darinya, saya yakin akan sangat membantu dan bermanfaat jika suatu saat dibutuhkan biaya akomodasi untuk diklat dan segala macamnya.

Membawa bekal makanan dari rumah setiap hari? Tak pernah mau kalau diajak karaoke? Tak pernah mau diajak makan siang bareng teman-teman? Kalau saya mau jujur, uang tunggu yang “hanya”  850 ribu itu hanya saya ambiil 300 ribu setiap bulannya. 150 ribu untuk pegangan saya, dan sisanya saya berikan pada ibu saya. Yang 550 ribu? Saya biarkan mengendap menjadi investasi saya di kemudian hari. Biarlah orang menyebut saya kampungan, kuper, jadul, angkuh, atau bahkan pelit, yang jelas saya tak mengambil milik orang lain, dan saya mencoba tak menyusahkan siapapun. Satu-satunya yang cukup kerepotan mungkin ibu saya, yang harus menyiapkan sarapan dan bekal setiap pagi. Baiklah, memang benar, tapi akan jauh lebih memberatkan beliau kalau saya tak memiliki tabungan, dan merengek meminta uang untuk ongkos jalan suatu saat nanti. Hidup keluarga kami sudah begitu berat dan kekurangan, kalau saya tidak mau prihatin, pantas lah anda sebut saya anak durhaka.

Saya tak seperti anda yang semua uang tunggunya menjadi milik anda, bebas anda gunakan, bebas anda belanjakan. Maaf jika saya sering menolak ajakan kalian kawan, bukan karena saya tak mau diajak bersenang-senang, tapi saya sedang mencoba bertahan.

Tolong jangan sebut saya angkuh, saya hanya sedang berusaha meraih mimpi saya, dan mewujudkan harapan  kedua orang tua saya.

Jumat, 27 Desember 2013

Radio, Riwayatmu Kini

             (radio di rumah saya)
Radio, siapa yang mengira bahwa salah satu alat komunikasi ini akan segera memasuki akhir “masa berlakunya”. Hal yang tentu tak pernah ada dalam benak Guglielmo Marconi saat beliau menemukan radio pada 1895.  Betapa tidak, di tengah pesatnya perkembangan teknologi,informasi dan internet, semakin jarang orang menyentuh alat dengan output audio ini. Munculnya telefon genggam multi fungsi yang disusul dengan pesatnya perkembangan teknologi handphone pintar, bisa jadi merupakan suspect utama yang jadi “biang” kehancuran radio.  Orang tak perlu lagi menyalakkan radio dan menunggu seharian untuk mendengar lagu kesukaannya diperdengarkan. Orang tak mau lagi mendengarkan cuap-cuap penyiar radio karena tak nampak wajah tampan dan paras ayu dari sang penyiar. Orang tak perlu menunggu sampai jam 7 pagi dan jam 9 malam hanya untuk sekedar mendengar warta berita dan informasi terbaru.  Semua cukup dilakukan dengan kotak kecil berlayar bernama handphone, cukup lakukan beberapa kali pencet  tombol, dan  kau sudah dapattkan semuanya. Musik yang kau gandrungi, lengkap dengan video sang artis dan bisa disambi dengan membaca berita terhangat di situs tertentu. Tak perlu kau bersusah payah menyalakan radio, mencari frekuensi yang pas, dan menunggu lagu mu diputar.
         ("hati" dari sebuah pesawat radio dua band)


Ketiadaan pesawat televisi  di rumah saya membuat saya menghabiskan sebagian besar masa kecil saya dengan mendengarkan kotak kecil bersuara yang membuat saya sangat terkagum saat pertama melihatnya. Sesuatu yang tetap bertahan hingga sekarang, dan tetap saja radio begitu istimewa di mata saya. Suara karismatik khas para penyiar radio, dengan selingan beberapa lagu yang sedang “moncer” di kala itu, dan beberapa iklan di radio yang  dibuat “seadanya” namun tetap mengena. Sungguh masa indah yang sangat berharga untuk saya simpan sendiri.  Atau mungkin anda bisa mengingat bagaimana seru dan mencekamnya sandiwara radio yang sempat sangat hits di medio 90an. Walau saya belum terlalu “ngeh” dengan alur cerita sandiwara radio kala itu, tapi melihat ayah dan saudara-saudara saya sangat antusias menyimak acara ini setiap hari, tentu  acara tersebut memang sangat berjaya di eranya.  Setiap malam jumat ada acara Alam Lelembut dengan deretan cerita misteri dan pengalaman mistis  yang dibacakan sang penyiar, sungguh mencekam, bahkan saya selalu meminta ibu saya menemani saya tiap kali mendengarkan acara ini. Dan apa lagi yang tak terlupa dari era keemasan radio di masa kecil saya? Suara khas para pembawa radio RRI yang selalu diawali dengan instrument lagu Rayuan Pulau Kelapa, dan selalu berakhir dengan kata-kata “sekian siaran sentral dari Jakarta”. Saya yakin anak-anak jaman sekarang yang telah begitu dimanjakan dengan teknologi canggih di semua lini tak akan mengerti arti kebahagiaan saya di masa kecil dengan radio. Dan jika anda mengalami masa indah bersama radio, berarti hidup anda luar biasa.

(radio 4 band, sesuatu yang ingin saya beli tapi belum kesampaian)

Beberapa waktu lalu saya mencoba menghidupkan nostalgia saya dengan  menyalakan radio di kantor untuk menemani kesibukan bekerja. Tanpa saya duga, teman satu ruangan saya, atau bisa dibilang teman satu bilik saya, ternyata menyukainya. Sungguh sesuatu yang tak saya duga jika ternyata teman saya ini, sebut saja namanya S, juga suka mendengarkan radio dan memiliki masa kecil yang bisa dibilang hampir sama dengan saya. Sekilas dia sempat menyebutkan beberapa stasiun radio favorit yang pernah dan seering dia dengarkan. Mulai saat masih mengudara di frekuensi AM, dan sekarang di FM. mulai dari Bima Sakti, Indrakila FM (sekarang In FM), Prima FM, GSP, Geronimo, dan banyak lagi. Sampai kami sampai ke pembicaraan yang sedikit serius dengan membahas dari mana stasiun radio mendapat dana untuk beroperasi dan bagaimana mereka menggaji para penyiar dan pegawainya. Mungkin perbincangan kami akan sangat klise dan tak berbobot  untuk saya tuangkan di sini karena kami bukan orang yang cukup kompeten dalam hal ini. Tapi setidaknya pengalaman hari itu memberi saya satu hal, saya bukan satu-satunya orang yang “tergila-gila” dengan radio, ada orang lain bahkan dia ada di sekitar saya, dan tentu ada banyak orang lain yang sama “alirannya” dengan saya di luar sana. Mengutip lirik lagu dari John Lennon, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one. Tentu saja saya bukan satu-satunya, tapi satu hal yang jelas,  dengan perkembangan teknologi yang kian deras, munculnya berbagai barang praktis dan multifungsi dengan teknologi yang canggih, tentu amatlah sulit radio untuk bersaing karena hanya dibekali dengan “suara saja”. Kita tidak tau nasib radio 5, 10, atau 20 tahun lagi, mungkinkah eksistensi radio akan punah? Jadi, dengarkan radio selagi masih ada stasiun radio yang mengudara.

Baiklah, mungkin mulai dari saat ini anda bisa mulai menghitung berapa banyak dari anda  yang masih belajar di malam hari dengan ditemani alunan suara penyiar radio? Berapa banyak dari anda yang masih setia menunggu di depan radio menunggu lagu kesayangan diputar? Berapa banyak dari anda yang saat pulang beraktifitas, beristirahat sambil makan malam dan ditemani musik dari radio? Atau mungkin pertanyaan yang paling sederhana, masihkah anda memiliki radio di rumah? Baiklah, anda tak perlu menjawab anda punya radio di handphone anda, karena anda bahkan tak pernah memakai fitur ini di handphone anda. Jadi, mungkin benar jika radio akan segera “dipunahkan” oleh makhluk sejenis dengan yang telah menemukannya lebih dari seratus tahun lalu. Atau kalau anda merasa tersinggung, radio dipunahkan oleh “ciptaan” baru dari spesies yang sama dari yang telah menemukannya. Saya terlalu lebay? Saya malah merasa terlalu sederhana  menyampaikannya. Radio, ini bukan tentang teknologi, tapi tentang pilihan.