KPP Pratama Kebumen, tak
terasa hampir enam bulan kantor ini
menjadi “sekolah” saya yang baru. Sekolah yang mengajarkan betapa beragamnya
sifat orang di luar sana, betapa begitu banyak orang hebat dan orang baik di sekitar
kita, namun memberi alarm peringatan bahwa di mana ada orang yang baik, pasti
ada orang yang “tidak terlalu baik”, atau “belum menjadi baik”. Tempat ini
mengingatkan bahwa dunia kerja akan tetap dan akan selalu seperti lautan yang
sangat sukar diprediksi.
Hari pertama saya masuk “kerja”,
salah seorang pegawai senior membeberkan beberapa pengalamannya selama menjadi abdi negara. Satu poin penting
yang saya tangkap dari hasil pembicaraan kami adalah, sebagai pegawai “rendahan”
yang akan selalu dimutasi dari satu titik ke titik yang lain, saya harus punya
tabungan. Belau bercerita suatu masa ditempatkan di Papua, dan baru beberapa
hari di sana langsung disuruh diklat di Jakarta. Memang ongkos dan biaya
akomodasi akan ditanggung pemerintah nantinya, tapi kata “nanti” tidak pernah
bisa ditebak kapan terjadi. Simpulannya adalah, untuk beberapa waktu, semua
ongkos harus ditanggung sendiri, dan kondisi terburuk adalah, kalau saya tidak punya ongkos, lantas
dengan apa saya membayar biaya yang tidak bisa dibilang sedikit ini?
Sebagian dari anda
mungkin menjawab, “gampang, tinggal minta orang tua”., atau “pinjam dulu sama
saudara, nanti kan dikembalikan”. Kedua opsi tersebut memang benar, tapi keduanya
tak berlaku bagi saya. Meminta uang pada orang tua sama saja dengan menambah
berat beban orang tua yang selama ini sudah begitu berat. Meminta kepada
saudara? Saudara yang mana? kalaupun ada, mereka bisa member I satu dengan
syarat saya bisa mengembalikan dua.
Menabung, adalah
satu-satunya opsi yang tersedia bagi saya. Uang tunggu setiap bulan memang tak
seberapa jumlahnya, bahkan saat saya masih kuliah saya bisa mendapat jauh lebih
besar dari hasil mengajar privat. Tapi sekecil
apapun jumlahnya, kalau setiap bulan saya rajin menyisihkan beberapa bagian
darinya, saya yakin akan sangat membantu dan bermanfaat jika suatu saat
dibutuhkan biaya akomodasi untuk diklat dan segala macamnya.
Membawa bekal makanan
dari rumah setiap hari? Tak pernah mau kalau diajak karaoke? Tak pernah mau
diajak makan siang bareng teman-teman? Kalau saya mau jujur, uang tunggu yang “hanya”
850 ribu itu hanya saya ambiil 300 ribu
setiap bulannya. 150 ribu untuk pegangan saya, dan sisanya saya berikan pada
ibu saya. Yang 550 ribu? Saya biarkan mengendap menjadi investasi saya di
kemudian hari. Biarlah orang menyebut saya kampungan, kuper, jadul, angkuh, atau
bahkan pelit, yang jelas saya tak mengambil milik orang lain, dan saya mencoba
tak menyusahkan siapapun. Satu-satunya yang cukup kerepotan mungkin ibu saya,
yang harus menyiapkan sarapan dan bekal setiap pagi. Baiklah, memang benar,
tapi akan jauh lebih memberatkan beliau kalau saya tak memiliki tabungan, dan
merengek meminta uang untuk ongkos jalan suatu saat nanti. Hidup keluarga kami
sudah begitu berat dan kekurangan, kalau saya tidak mau prihatin, pantas lah
anda sebut saya anak durhaka.
Saya tak seperti anda
yang semua uang tunggunya menjadi milik anda, bebas anda gunakan, bebas anda
belanjakan. Maaf jika saya sering menolak ajakan kalian kawan, bukan karena
saya tak mau diajak bersenang-senang, tapi saya sedang mencoba bertahan.
Tolong jangan sebut saya
angkuh, saya hanya sedang berusaha meraih mimpi saya, dan mewujudkan harapan kedua orang tua saya.
Selamat berjuang Puguh...:)
BalasHapusSemoga Alloh senantiasa memberikanmu kemudahan dalam menggapai cita-citamu. Aamiin.