3 Oktober 2012, hari itu Allah mengijinkan aku terbang
menggapai satu bintang di langitNya. Hari itu aku telah resmi dinyatakan lulus
dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan gelar A.Md (Ahli Madya) telah resmi
terpampang di belakang namaku. Benar, namaku resmi menjadi Puguh Prayogi, A.Md.
Mungkin lebih lengkapnya Puguh Prayogi “anak
pembuat batu bata”, A.Md. Lebih istimewa lagi, aku menjadi orang pertama yang
menyelesaikan kuliah di desaku, atau aku lebih suka menyebutnya di kampung halamankku.
Sekolah, kuliah, dan meraih gelar adalah hal yang tidak
pernah menjadi tradisi di keluargaku, bahkan di desaku. Desa Wonosari, sebuah
desa yang letaknya hanya 10 kilometer dari jantung Kota Kebumen bukanlah desa
yang bisa dibilang terpencil. Namun, paradigma masyarakat di desa ini dalam memandang
pendidikan sungguh seperti sebuah desa terpencil yang letaknya ratusan
kilometer dari peradaban. Sekolah,lulus SMP, kerja seadanya, nikah. Itu adalah
siklus umum yang selalu dipelihara turun temurun. Belakangan beberapa di antara
kami ada yang telah berhasil keluar dari paradigm itu,yakni dengan melanjutkan
sekollah di sekolah kejuruan setelah lulus SMP. Kehidupan yang lebih layak
setidaknya telah berhasil mereka
dapatkan pasca menyelesaikan pendidikan di sekolah kejuruan dan bekerja.
my life booster: ramane-biyunge
Kala itu, secara naluri aku pun berniat mendaftar di sekolah
kejuruan setelah lulus dari SMP. Walaupun keadaan ekonomi keluargaku bisa
dikatakan senin-kemis, bahkan kala itu hanya senin saja, kalau kamis nafasnya
sudah tidak ada, aku dengan inisiatif sendiri mendaftar di sebuah sekolah
kejuruan negeri di Kebumen. Dengan bekal uang tabunganku yang kala itu
jumlahnya sekitar 500ribu rupiah, ditambah niat menuntut ilmu, aku berangkat. Akan tetapi, Allah sepertinya telah memilihkan
jalan lain yang lebih baik untukku walaupun dengan cara yang saat itu membuatku
merasa kecewa. Rasa kecewa yang pada kemudian hari sangat pantas aku syukuri. Sebuah
bekas cacar air di tangan kananku kala itu membuat panitia penerimaan siswa
baru menganggap aku didiskualifikkasi. Mengapa? Karena mereka menganggap bekas
cacar air sebesar koin uang 500an itu
mereka anggap sebagai rajah di tubuh. Dalam peraturan memang tertulis para
calon siswa dilarang memiliki tato di tubuhnya. Sekuat tenaga aku mencoba
menjelaskan bahwa rajah di tanganku itu bukan tato, tapi bekas cacar. Aku sempat
sedikit menagis kala itu, tapi apa daya, mereka tak sedikitpun mempertimbangkan
penjelasanku.
kendaraan pribadiku
Aku pulang dengan gontai mengayun sadel sepeda ontelku,
memendam rasa kecewa yang bisa saja aku letuskan pada siapa saja waktu itu. Namun,
rencana rapi Allah benar-benar bekerja. Di tengah jalan pulang, secara tak
sengaja aku lewat di depan SMA N 2 Kebumen, dan di depan gapuranya Nampak beberapa
teman SMP ku tengah melihat jurnal pendaftaran. Sontak, aku menghampiri mereka
dan singkat cerita mereka membujuk ku untuk mendaftar di sekolah itu. Tanpa berkonsultasi
dengan orang tuaku, aku langsung mendaftar dan akhirnya diterima bahkan dengan
posisi teratas alam jurnal akhir penerimaan. Saat aku memberitahukan ibu-bapak
kalau aku diterima di SMA 2, mereka nampak
sedikit sedih dan bingung.
Bukan rahasia kalau sekolah di SMA membutuhkan biaya
tidak sedikit, belum lagi setelah lulus, entah aku akan bekerja menjadi apa
karena memang tidak diajarkan keahlian
apapun di sana.
Di mana ada keinginan, di situ ada jalan. Pameo tua itu yang
selalu aku pegang dan yakini dengan sepenuh hati. Ibuku kala itu berkata, “ibu
hanya bisa membantu dengan doa, nak. Tapi kalau biaya, ibu hanya bisa membantu
biaya makan, tidak untuk biaya sekolah”. Aku sempat down juga kala itu,
terlebih uang tabunganku kala itu telah habis hanya untuk daftar ulang dan
membayar biaya seragam. Baiklah, itu hanya bumbu dalam drama cinta menuntut
ilmu, pikirku kala itu.
Benar saja, tak lama setelah resmi menjadi siswa SMA N 2
kebumen, kesempatan beasiswa pun datang. Berbekal beberapa piagam penghargaan
yang aku dapat kala masih berbaju putih-biru, aku mendaftar dan mengikuti
serangkain wawancara. Seperti pada pengalaman –pengalaman wawancara sebelumnya,
aku selalu menceritakan kondisi keluarga dan ekonomi kami. Dan seperti
pengalaman-pengalaman sebelumnya juga, pasti salah satu pewawancara ada yang
hampir menangis mendengar kondisi keluarga ku. Entahlah, mungkin sedemikian
buruknya kondisi keluarga ku. Pada akhir saga perebutan beasiswa itu, secara
luar biasa aku berhasil mendapat beasiswa full selama satu tahun, yang pada dua
tahun berikutnya juga berhasil aku dapatkan. Kabar gembira berikutnya kala itu
adalah, kakaku yang telah merantau di Jakarta, bersedia member kiriman uang
tiap bulan, walaupun jumlahnya kala itu tak seberapa.
Saat aku telah duduk di kelas 2 SMA (kami menyebutnya kelas XI), aku
mulai berfikir akan bekerja jadi apa pasca lulus nanti. Benar apa kata
orang-orang, sekolah SMA itu nanggung, tak punya keahlian apa-apa, hanya menang
gengsi saja. Pilihan untuk kuliah, telah jauh-jauh aku buang dari daftar
pilihan melihat kondisi ekonomi keluargaku dibandingkan dengan mahalnya biaya
kuliah. Secara spontanistas aku terpikir untuk berkonslutasi dengan guru BK.
Ibu Zubaedah, guru BK yang kala itu mendengar keluh kesah ku, langsung
menyarankan aku untuk melanjutkan kuliah di STAN . dari beliau aku tahu, kalau
STAN kuliah gratis tis, dan setelah lulus akan langsung ditempatkan
bekerja. Sungguh kala itu aku seperti mendapat embun sejuk di
tengah gersangnya kegundahan hati. Selama ini hatiku memang benar, SELALU ADA
JALAN.
Tapi, di tengah kabar gembira itu, Ibu Zubaedah juga tetap
menyelipkan peringatan keras, kalau untuk diterima di STAN itu jauh dari kata
mudah. Hanya 2.000 dari sekitar 100.000 pendaftar yang akan diterima setiap
tahunnya. Sejak saat itu aku merenung, akankah aku masuk dalam barisan 2000
orang itu suatu saat nanti? Sejak saat itu juga, aku berusaha memantaskan
diriku, mencoba mencari bekaql sebanyak-banyaknya untuk mengalahkan 98.000
musuh yang juga akan berjuang masuk kampus idaman itu. Mungkin terlalu dini
memikirkan melanjutkan kuliah mengingat aku masih duduk di kelas XI kala itu,
namun tak ada istilah terlalu dini hari untuk belajar dan mengejar mimpi.
Singkat cerita, aku lulus dari SMA dan mendaftar di STAN. Aku
mendaftar dan mengikuti rangkaian tes di Semarang. Aku sengaja memilih Semarang
karena di sana ada rumah sanak saudara yang bisa aku tinggali sementara aku
mengikuti tes. Ini jauh lebih ekonomis daripada menyewa losmen atau penginapan.
Diterima STAN
Kala itu, pagi hari tanggal 1 September 2009. Hati ku cukup
gelisah menanti pengumuman penerimaan STAN yang menurut jadwal akan diumumkan
tepat pukul 11.00. pukul 07.30, tiba-tiba telepon selulerku bordering yang
ternayata itu panggilan dari Aziz, salah seorang teman SMA yang juga mendaftar
USM STAN. Dengan tertawa dan agak gugup, dia membertahu kalau dia telah lulus
USM STAN. Hatiku makin penasaran. Langsung
saja setelah itu, aku menuju warnet di depan stasiun. Aku buka situs
usm.stan.ac.id, terus aku masukan
beberapa digit nomor pendaftaran. Tanganku dan seluruh tubuhku gemetar saat
mengarahkan kursor untuk mengeklik tombol submit. Sekitar 10 detik kemudian,
aku seperti gunung merapi yang meletus setelah melalui status waspada dan
siaga, layar desktop tertulis
PUGUH PRAYOGI
SELAMAT ANDA DITERIMA DI SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
SPESIALISASI AKUNTANSI PEMERINTAHAN
Kampus STAN: di sini aku menggapai bintang
Langsung aku berteriak, berlari keluar bilik warnet, dan
tanpa sadar kala itu aku mencubit pipi penjaga warnet(hehe). Setelahnya aku
berlari seolah tak sadar menuju rumah smabil berteriak sepanjang jalan, ‘Ibu,
aku diterima STAN”. Ibuku yang mendengar teriakan ku, langsung saja meloncat
meninggalkan pakaian yang tengah dicucinya terus memeluku dan menangis.
ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR. Mungkin ini sedikit berlebihan, bahkan ada
teman yang biasa saja saat mengeetahui kalau diterima STAN, tapi bagi aku dan
keluargaku, diterima STAN adalah sesuatu yang sungguh hanya ada dalam mimpi dan
kini telah hadir dalam dunia nyata. Kalau saja aku tidak diterima STAN, aku tak
akan kuliah, dan tak akan punya kesempatan memperbaiki kondisi keluarga kami.
Aku begitu bangga saat menginjakan kaki pertama kali di
kampus STAN. Ini aku, anak pembuat batu bata, yang tak punya harta apa-apa untuk
dibawa, akan menggetarkanmu wahai dunia.
3 tahun yang akau jalani di sini bagai berenang dalam lautan
mimpi yang tak selalu aku miliki. Sekolah gratis tanpa bekal harta dari orang
tua, bukanlah waktu yang tepat untuk bermalas ria. Bermals-malas, berarti bunuh
diri. Bukan hanya harus melawan malas untuk belajar di kelas, tapi juga harus
mampu mengatasi malas melawan kerasnya kehidupan ibukota.
Kerja sampingan sebagai pengajar privat pun tak sungkan aku
jalani. Dengan hasil yang minim tetap aku cukupkan untuk sekedar bertahan hidup
di sini, yah setidaknya untuk 3 tahun ke depan.
Kadang aku merasa iri juga, melihat teman yang dengan sesuka
hatinya menghamburkan uang kiriman orang tua mereka. Makan enak tiap hari tanpa
harus memikirkan hari esok. Atau hanya untuk sekedar menginjak-injak es batu (baca
isc skating), menyodok-nyodok bola (baca bilyard) atau menggelindingkan bola(baca bowling). Entahlah, itu tak ada
gunanya untuk ingin menjadi mereka. Kebun tetangga memang selalu kelihatan
lebih hijau, tapi kebun sendiri pasti hasilnya lebih manis. Benar??
Lucunya, kebanyakan mereka selalu mengeluh saat akhir bulan
kalau uang sudah menipis. Padahal, tiap hari adalah akhir bulan menurutku. Jambul,
hahhaaaa
Anyway, sekarang aku telah melewati semua itu selama 3 tahun
dan kini secara hokum aku telah resmi menyandang gelar A.Md.
Aku, anak pembuat batu bata, telah menaklukan dunia, bukan
dunia mu, tapi duniaku, dunia yang kadang kejam tapi selalu mendewasakanku.
ALLAHUAKBAR