p

Minggu, 09 Maret 2014

Saya Tak Membaur Bukan Karena Saya Angkuh




KPP Pratama Kebumen, tak terasa hampir  enam bulan kantor ini menjadi “sekolah” saya yang baru. Sekolah yang mengajarkan betapa beragamnya sifat orang di luar sana, betapa begitu banyak orang hebat dan orang baik di sekitar kita, namun memberi alarm peringatan bahwa di mana ada orang yang baik, pasti ada orang yang “tidak terlalu baik”, atau “belum menjadi baik”. Tempat ini mengingatkan bahwa dunia kerja akan tetap dan akan selalu seperti lautan yang sangat sukar diprediksi.

Hari pertama saya masuk “kerja”, salah seorang pegawai senior membeberkan beberapa pengalamannya  selama menjadi abdi negara. Satu poin penting yang saya tangkap dari hasil pembicaraan kami adalah, sebagai pegawai “rendahan” yang akan selalu dimutasi dari satu titik ke titik yang lain, saya harus punya tabungan. Belau bercerita suatu masa ditempatkan di Papua, dan baru beberapa hari di sana langsung disuruh diklat di Jakarta. Memang ongkos dan biaya akomodasi akan ditanggung pemerintah nantinya, tapi kata “nanti” tidak pernah bisa ditebak kapan terjadi. Simpulannya adalah, untuk beberapa waktu, semua ongkos harus ditanggung sendiri, dan kondisi terburuk  adalah, kalau saya tidak punya ongkos, lantas dengan apa saya membayar biaya yang  tidak bisa dibilang sedikit ini?

Sebagian dari anda mungkin menjawab, “gampang, tinggal minta orang tua”., atau “pinjam dulu sama saudara, nanti  kan dikembalikan”.  Kedua opsi tersebut memang benar, tapi keduanya tak berlaku bagi saya. Meminta uang pada orang tua sama saja dengan menambah berat beban orang tua yang selama ini sudah begitu berat. Meminta kepada saudara? Saudara yang mana? kalaupun ada, mereka bisa member I satu dengan syarat saya bisa mengembalikan dua. 

Menabung, adalah satu-satunya opsi yang tersedia bagi saya. Uang tunggu setiap bulan memang tak seberapa jumlahnya, bahkan saat saya masih kuliah saya bisa mendapat jauh lebih besar  dari hasil mengajar privat. Tapi sekecil apapun jumlahnya, kalau setiap bulan saya rajin menyisihkan beberapa bagian darinya, saya yakin akan sangat membantu dan bermanfaat jika suatu saat dibutuhkan biaya akomodasi untuk diklat dan segala macamnya.

Membawa bekal makanan dari rumah setiap hari? Tak pernah mau kalau diajak karaoke? Tak pernah mau diajak makan siang bareng teman-teman? Kalau saya mau jujur, uang tunggu yang “hanya”  850 ribu itu hanya saya ambiil 300 ribu setiap bulannya. 150 ribu untuk pegangan saya, dan sisanya saya berikan pada ibu saya. Yang 550 ribu? Saya biarkan mengendap menjadi investasi saya di kemudian hari. Biarlah orang menyebut saya kampungan, kuper, jadul, angkuh, atau bahkan pelit, yang jelas saya tak mengambil milik orang lain, dan saya mencoba tak menyusahkan siapapun. Satu-satunya yang cukup kerepotan mungkin ibu saya, yang harus menyiapkan sarapan dan bekal setiap pagi. Baiklah, memang benar, tapi akan jauh lebih memberatkan beliau kalau saya tak memiliki tabungan, dan merengek meminta uang untuk ongkos jalan suatu saat nanti. Hidup keluarga kami sudah begitu berat dan kekurangan, kalau saya tidak mau prihatin, pantas lah anda sebut saya anak durhaka.

Saya tak seperti anda yang semua uang tunggunya menjadi milik anda, bebas anda gunakan, bebas anda belanjakan. Maaf jika saya sering menolak ajakan kalian kawan, bukan karena saya tak mau diajak bersenang-senang, tapi saya sedang mencoba bertahan.

Tolong jangan sebut saya angkuh, saya hanya sedang berusaha meraih mimpi saya, dan mewujudkan harapan  kedua orang tua saya.

1 komentar:

  1. Selamat berjuang Puguh...:)
    Semoga Alloh senantiasa memberikanmu kemudahan dalam menggapai cita-citamu. Aamiin.

    BalasHapus