p

Kamis, 08 Maret 2012

Kenapa Rasulullah Dipilih Orang Arab, Bukan Orang Betawi?

Selalu menarik saat mengupas tentang kisah lahirnya Nabi Muhammad SAW. Ada satu pertanyaan menggelitik saat membahas tentang kelahiran beliau, yaitu apa rahasia dan hikmah dibalik takdir Allah SWT menetapkan bahwa Nabi dan Rasul terakhir yang risalahnya berlaku untuk seluruh umat manusia, harus beruwujud seorang Arab, yaikni berbangsa dan juga berbahasa Arab. Kenapa bukan orang Eropa saja, atau Cina, atau Afrika, atau juga orang Betawi?

Kenapa Allah SWT memilih untuk menurunkan risalah abadi dan universal itu di tanah Arab? Memangnya apa sih keistimewaan Jazirah Arabia itu?

Pernyataan ini cukup menggeletik rasa ingin tahu kita, mengingat saat ini negeri Arab justru menjadi pusat konflik bersenjata international. Negeri yang tidak pernah sepi dari huru-hara dan kerusuhan. Kalau kita kaitkan dengan visi misi Islam yang salah satunya adalah rahmatan llil-alamin, rasanya kok rada kehilangan makna.

Sesungguhnya sudah ada banyak kajian tentang hal ini, salah satu apa yang ditulis oleh Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dan beberapa ulama lainnya.

Al-Buthi menegaskan bahwa turunnya Islam pertama di negeri arab bukan sekedar kebetulan. Juga bukan semata karena di sana ada tokoh paling jahat semacam Abu Jahal cs. Namun ada sekian banyak skenario samawi yang akhir-akhir ini mulai terkuak. Kita di zaman sekarang ini akan menyaksikan betapa rapi rencana besar dan strategi Allah jangka panjang, sehingga pilihan untuk menurunkan risalah terakhir-Nya memang negeri Arabia.

Apa yang disebutkan Al-Buthi itu benar. Negeri Arab yang meski tandus, tidak ada pohon dan air, namun negeri ini menyimpan banyak alasan untuk mendapatkan kehormatan itu. Saya mencoba menuliskan beberapa alasan rabbani dan hikmah itu, di antaranya yang bisa kita gali adalah:

1. Di Jazirah Arab Ada Rumah Ibadah Pertama

Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam.

Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di tengah gurun pasir jazirah arabia.

Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka`bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari kiamat menjelang.

Ketika Adam as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka`bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya ka`bah.

Maka jadilah wilayah sekitar ka`bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka`bah sebagai tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia. (QS. Ali Imran: 96)

2. Jazirah Arabia Adalah Posisi Strategis

Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia.

Sejak masa Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia.

Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku.

Ini menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di Selatan.

Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi jazirah arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua peradaban.

Kita tidak bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia.

Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran.

Sebaliknya, jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah.

Sehingga di abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara ini. Dan bahkan salahseorang shahabat yaitu Yazid bin Mu`awiyah ikut dalam rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar.

3. Kesucian Bangsa Arab

Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang arab di masa Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah.

Padahal yang dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Quran adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam. Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah lawan dari semangat Islam.

Bangsa arab memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa arab hidup dengan kemurnian niloai kemanusiaan yang masih asli.

Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota.

Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri seorang arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang bagi bangsa arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.

Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang ada di sekeliling ka`bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya romawi, yunani dan yaman.

Termasuk juga minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar peradaban mereka.

Namun sifat jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama.

Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, maka sinar itu membentuk proyeksi iman yang amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali didustainya.

Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya. Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu bangsa arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya semua bangsa arab. Bandingkan dengan sejarah kristen yang berakhir dengan terbunuhnya (diangkat) sang nabi. Atau yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran nabinya.

Hanya bangsa yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia.

4. Faktor Bahasa

Sudah menjadi ketetapan Allah SWT untuk mengirim nabi dengan bahasa umatnya. Agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi antara nabi dan umatnya.

Namun ketika semua nabi telah terutus untuk semua elemen umat manusia, maka Allah menetapkan adanya nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia. Dan kelebihannya adalah bahwa risalah yang dibawa nabi tersebut akan tetap abadi terus hingga selesainya kehidupan di muka bumi ini.

Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali.

Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah bahasa arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia.

Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa arab. Ternyata bahasa arab itu adalah bahasa tertua di dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa arab adalah bahasa umat manusia yang pertama.

Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga adalah bahasa arab. Dan asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa kedua `alien` itu adalah bahasa arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka mengajarkan bahasa surga itu kepada nenek moyang manusia, yaitu bahasa arab.

Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa arab memiliki jumlah kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing ada sekitar 100 kata.

Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa arab dalam hal kekayaan perbendaharaannya. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaoikan dan Al-Quran diturunkan.

5. Arab Adalah Negeri Tanpa Kemajuan Material Sebelumnya

Seandainya sebelum turunnya Muhammad SAW bangsa arab sudah maju dari sisi peradaban materialis, maka bisa jadi orang akan menganggap bahwa Islam hanyalah berfungsi pada sisi moral saja. Orang akan beranggapan bahwa peradaban Islam hanya peradaban spritualis yang hanya mengacu kepada sisi ruhaniyah seseorang.

Namun ketika Islam diturunkan di jazirah arabia yang tidak punya peradaban materialis lalu tiba-tiba berhasil membangun peradana materialis itu di seluruh dunia, maka tahulah orang-orang bahwa Islam itu bukanlah makhluq sepotong-sepotong. Mereka yakin bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang multi dimensi. Islam mengandung masalah materi dan rohani.

Ketika sisi aqidah dan fikrah bangsa Arab sudah tertanam dengan Islam, ajaran Islam kemudian mengajak mereka membangun peradaban materialis yang menakjubkan dalam catatan sejarah manusia. Pusat-pusat peradaban berhasil dibangun bangsa-bangsa yang masuk Islam dan menjadikan peradaban mereka semakin maju.

Logikanya, bila di tanah gersang padang pasir itu bisa dibangun peradaban besar dengan berbekal ajaran Islam, maka tentu membangun peradaban yang sudah ada bukan hal sulit.

Shalat Khusyu' Ternyata Mudah dan Dimudahkan

Bismillah, alhamdulillah lagi-lagi saya berkesempatan berbagi artikel yang saya kutip dari Ustadz Ahmad Sarwat. Insya Allah bermanfaat dan semakin meningkatkan kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT.

Ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyu` kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun, agar konsentrasi.

Malah bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya.

Maka seorang yang shalat dengan khusyu`` bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, telinga dan diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyu`` itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu.

Rujukan Tentang Khusyu` Dalam Shalatnya
Siapakah orang yang paling khusyu` shalatnya di dunia ini? Apakah orang yang mengaku telah menemukan metode kontemplasi, yoga dan sejenisnya, ataukah Rasulullah SAW?
Ini pertanyaan penting ketika kita bicara tentang khusyu` dalam shalat. Sebab kita seringkali lupa, bahwa shalat itu sebuah ritual ibadah, bukan produk karsa atau karya manusia. Ritual shalat juga bukan sebuah hasil koreografi buatan manusia.
Ritual shalat itu pada hakikatnya adalah tata cara untuk beribadah kepada Allah SWT, dimana Allah ingin disembah dengan cara yang Dia tentukan sendiri.
Dan untuk itu, Allah SWT telah mengutus Rasulullah SAW sebagai perantara yang menyampai bentuk teknisnya. Dan untuk mengetahui bagaimana bentuk shalat itu, kita hanya punya satu rujukan, yaitu Rasulullah SAW.
Pasti kita sepakat mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling khusyu` dalam shalat. Sebab kalau seorang Muhammad SAW shalatnya tidak khusyu`, lalu kepada siapa lagi kita merujukkan masalah shalat ini?
Karena kita hanya dibenarkan merujuk kepada beliau SAW, maka otomatis semua definisi dan standarisasi khusyu` yang benar hanyalah semata-mata yang paling sesuai dengan shalat beliau.
Kita tidak dibenarkan untuk membuat definisi dan standar shalat khusyu` sendiri menurut logika serta khayal kita. Sebab nanti akan muncul ribuan bahkan jutaan definisi shalat khusyu` yang sangat beragam, bahkan satu dengan lainnya saling bertolak-belakang.
Padahal satu-satunya rujukan dalam masalah shalat hanyalah apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau tegaskan lagi dengan sabdanya, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."
Maka gambaran shalat khusyu` itu perlu kita pahami secara lebih luas, tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang selama ini umumnya dipahami orang. Sebab kenyataannya begitu banyak fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat dengan berbagai keadaan, dan kita tetap mengatakan bahwa semua yang dikerjakan oleh beliau itu adalah bentuk nyata dari shalat yang khusyu`.
Dan sungguh ajaib, ternyata beliau SAW banyak melakukan gerakan dalam shalat yang mungkin oleh orang awam di antara ummat sudah dianggap tidak boleh atau malah membatalkan shalat.
Mungkin kebanyakan orang juga menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh bleiau SAW bukan hanya tidak khusyu` tetapi sudah dianggap membatalkan shalat. Tetapi itulah realitanya, beliau disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih melakukan banyak gerakan dalam shalat, dan shalat itu tidak batal. Bahkan kita tetap mengatakan bahwa beliau adalah orang yang paling khusyu` shalatnya.
Di antara gerakan beliau SAW itu adalah :
1. Menggendong Bayi
Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong bayi. Rasanya kita mungkin malah belum pernah seumur-umur shalat sambil menggendong bayi. Bahkan mungkin sebagian kita malah akan bilang bahwa shalat sambil menggendong bayi itu tidak sah. Dan kalau baru urusan sah saja pun tidak, apalagi khusyu`.
Namun kita menemukan hadits-hadits yang shahih yang menggambarkan bagaimana beliau SAW shalat sambil menggendong cucunya.
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ ص
Dari Abi Qatadah bahwa Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab bin Rasululah SAW.(HR. Muslim)
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ  يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ وَهْىَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِىِّ  عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku` anak itu diletakkannya dan bila beliau bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)
2. Memperlama Sujud Karena Dinaiki Cucu
Dan masih dalam bab shalat dengan cucu, Rasulullah SAW pernah memperlama sujudnya, karena ada cucunya yang naik ke atas punggungnya.
عَنْ شَدَّادِ اللَّيْثِي  قَالَ : خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ  فِي إِحْدَى صَلاتَيْ العَشِيِّ الظُّهرِ أَوِ العَصْرِ وَهُوَ حَامِلُ حَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ فَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ ص فَوَضَعَهُ ثُمَّ كَبَّرَ لِلصَّلاَةِ فَصَلىَّ فَسَجَدَ بَيْنَ ظَهْرَي صَلاَتِهِ سَجْدَةً أَطَالَهَا. قَالَ: إِنِّي رَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا الصَّبِيُّ عَلىَ ظَهْرِ رَسُولِ اللهِ ص وَهُوَ سَاجِد. فَرَجَعْتُ فيِ سُجُوْدِي. فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ ص الصَّلاَةَ قَالَ النَّاسُ: ياَ رَسُولَ اللهِ إِنَّكَ سَجَدْتَ بَيْنَ ظَهْرَي الصَّلاَةَ سَجْدَةً أَطَلْتَهَا حَتىَّ ظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ. قَالَ: كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتىَّ يَقْضِيَ حاَجَتَهُ - رواه أحمد و النَّسائي والحاكم
Dari Syaddan Al-Laitsi radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW keluar untuk shalat di siang hari entah dzhuhur atau ashar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain. Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau SAW. Maka Aku kembali sujud. Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat, orang-orang bertanya,"Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu". Beliau SAW menjawab,"Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain. (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Hakim)
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Saw itu tetap masih punya kontak dengan dunia luar, sehingga cucunya yang asyik main kuda-kudaan di atas punggungnya pun diberi kesempatan memuaskan hasratnya, sambil beliau tetap menunggu dengan posisi bersujud.
Kalau orang menyangka bahwa khusyu` itu harus melakukan perenungan dan kontemplasi, tidak mungkin memperlama sujud karena memberi kesempatan anak naik ke atas punggungnya.
3. Mempercepat Shalat Mendengar Tangis Bayi
Lagi-lagi masih terkait dengan anak kecil, kali ini dengan bayi. Adalah Rasulullah SAW mempercepat shalatnya saat menjadi imam, hanya lantaran beliau mendengar ada anak kecil menangis.
Kalau disangka bahwa shalat khusyu` itu adalah hanya ingat Allah dan tidak ingat hal-hal yang lain, maka tidak mungkin beliau SAW mempercepat shalatnya begitu mendengar tangis bayi.
4. Mencegah Orang Lewat Di Depannya
Kalau dikatakan bahwa khuyu` itu adalah memusatkan pikiran hanya kepada Allah SWT saja, tentu Rasulullah SAW tidak akan memerintahkan untuk mencegah seseorang lewat di depan orang shalat. Sebab orang yang sedang konsentrasi mengingat Allah SWT itu tentu tidak akan tahu kalau ada orang lain lewat di depannya.
Namun justru beliau SAW memerintahkan untuk menghalangi bahkan membunuhnya.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ : إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى فَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabd,"Jika kamu shalat jangan biarkan seorang pun lewat di depannya, haruslah dia mencegahnya semampunya. Kalau orang yang mau lewat itu mengabaikan, maka bunuhlah dia, karena dia adalah setan. (HR. Muslim)
Larangan lewat di depan orang shalat itu bukan larangan main-main. Kedua belah pihak, baik orang yang shalat atau pun orang yang lewat, keduanya harus mengindarinya.
Kalau orang yang shalat harus mencegahnya, maka orang yang mau lewat juga diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :
عن أَبي جُهَيْمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  : لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَىِ الْمُصَلِّى مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Dari Abu Juhaim radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu tahu apa yang akan menimpanya, maka menunggu selama 40 akan lebih baginya dari pada lewat di depan orang shalat. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW tidak menjelaskan apa yang beliau maksud dengan angka 40 itu, apakah 40 hari, 40 bulan atau 40 tahun.
5. Membunuh Kalajengking & Ular
Kalau khusyu` itu dimaknai sebagai konsentrasi yang tidak ingat apa-apa kecuali hanya kepada Allah saja, maka pastilah Rasulullah SAW tidak khusyu` shalatnya.
Mengapa?
Karena beliau SAW pernah memerintahkan orang yang shalat untuk membunuh ular serta hewan liar lainnya.
Tentunya tidak ada seorang pun yang kualat mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak khusyu` shalatnya, atau bahwa beliau SAW memerintahkan orang untuk shalat dengan tidak khuyus`.
Orang yang sedang shalat lalu hendak dimangsa hewan yang beracun, maka dia boleh membunuhnya, tanpa kehilangan kekhusyuan shalatnya.
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ  قَالَتْ :كاَنَ رَسُولُ اللهِ  يُصَلِّي فِي البَيْتِ فَجَاءَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طاَلِبٍ كَرَّمَ اللهُ تَعَالىَ وَجْهَهُ فَدَخَلَ فَلَمَّا رَأَى رَسُولَ اللهِ  يُصَلِّي قَامَ إِلَى جَانِبِهِ يُصَلِّي قَالَ: فَجَاءَتْ عَقْرَبُ حَتىَّ انْتَهَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ  ثُمَّ تَرَكَتْهُ وَأَقْبَلَتْ إِلَى عَلِيٍّ. فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ عَلِيٌّ ضَرَبَهَا بِنَعْلِهِ فَلَمْ يَرَ رَسُولُ اللهِ  بِقَتْلِهِ إِيَّاهَا بَأْساً - رواه البيهقي والطبراني.
Dari Aisyah radhiyallahuanha istri Nabi SAW berkata bahwa Rasulullah SAW sedang shalat di rumah, datanglah Ali bin Abi Thalib. Ketika melihat Rasulullah SAW sedang shalat, maka Ali pun ikut shalat di sebelah beliau. Lalu datanglah kalajengking hingga berhenti di dekat Rasulullah SAW namun meninggalkannya dan menghadap ke Ali. Ketika Ali melihat kalajengking itu, Ali pun meninjaknya dengan sandalnya. Dan Rasulullah SAW memandang tidak mengapa pembunuhan itu terjadi (dalam shalat). (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ  أَمَرَ بِقَتْلِ الأَسْودَيْنِ فيِ الصَّلاَةِ العَقْرَبِ وَالحَيَّةِ - رواه أحمد والترمذي وابن خُزَيمة وابن ماجة.
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh dua hewan hitam, yaitu kalajengking dan ular. (HR. Ahmad, At-Tirmizy, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah)
اُقْتُلُوا الأَسْودَينِ - رواه أبو داود والبيهقي
Bunuhlah dua hewan hitam (kalajengking dan ular). (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)
6. Lupa dan Sujud Sahwi
Rasulullah SAW saat menjadi imam pernah lupa gerakan shalat tertentu, bahkan salah menetapkan jumlah bilangan rakaat, sehingga beliau melakukan sujud sahwi.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah shalat 5 rakaat tanpa sadar. Kemudian selesai shalat ketika diingatkan, beliau pun mengaku bahwa telah lupa jumlah rakaat, sehingga beliau melakukan sujud sahwi.
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَال : صَلَّى بِنَا رَسُول اللَّهِ  خَمْسًا فَقُلْنَا : يَا رَسُول اللَّهِ أَزِيدَ فِي الصَّلاَةِ ؟ قَال : وَمَا ذَاكَ ؟ قَالُوا : صَلَّيْتَ خَمْسًا ! " إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ
Abdullah bin Mas`ud radhiyallahuanhu berkata,"Rasullullah SAW mengimami kami 5 rakaat. Kami pun bertanya,"Apakah memang shalat ini ditambahi rakaatnya?". Beliau SAW balik bertanya,"Memang ada apa?". Para shahabat menjawab,"Anda telah shalat 5 rakaat!". Beliau SAW pun menja-wab,"Sesungguhnya Aku ini manusia seperti kalian juga, kadang ingat kadang lupa sebagaimana kalian". Lalu beliau SAW sujud dua kali karena lupa. (HR. Muslim)
7. Al-Fath
Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
Tasbih untuk laki-laki dan bertepuk buat wanita (HR. Muslim)
8. Shalat Khauf
Rasululah SAW mengajarkan shalat khauf dengan berjamaah yang gerakannya sangat unik dan jauh dari kesan khusyu`
Sebab shalat itu dilakukan sambil menyandang senjata, dengan mata jelalatan kemana-mana, berjaga kalau-kalau tiba-tiba muncul musuh.
Bahkan barisan pun dipecah dua dengan melakukan ruku, i`tidal sujud dan duduk antara dua sujud secara bergantian antara barisan depan dan barisan belakang. Kalau barisan depan ruku dan sujud bersama imam, maka barisan belakang tetap berdiri sambil berjaga, tidak ikut imam.
Selesai barisan depan, giliran barisan belakang yang ruku dan sujud, sedangkan barisan depan berdiri sambil berjaga-jaga.
Dan shalat seperti itu adalah shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat dalam pertempuran.
9. Shalat di atas Kendaraan
Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di atas kendaraan, yaitu hewan tunggangan beliau, seekor unta. Unta beliau itu berjalan, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, beliau membiarkan tunggangannya menghadap kemana pun.
Namanya orang menunggang unta, tentu harus berpegangan dan konsentrasi, dan kalau harus khusyu` dalam shalat, dengan pengertian harus melakukan kontemplasi dalam shalat sambil melupakan apa-apa di sekelilingnya, pastilah beliau SAW jatuh dari unta.
Maka apa yang dilakukan beliau SAW dengan shalat di atas unta itu juga termasuk shalat yang khusyu` dalam pandangan syariah Islam.
10. Memindahkan Kaki Istrinya
Rasulullah SAW pernah memindahkan tubuh atau kaki isterinya saat sedang shalat karena dianggap menghalangi tempat shalatnya.
11. Menjawab Salam dengan Isyarat
Rasulullah SAW mengajarkan orang yang shalat untuk menjawab salam dengan isyarat.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ  مَسْجِدَ بَنِي عَمْرُو بْنِ عَوْفٍ - يَعْنِي مَسْجِدَ قُباَء - فَدَخَلَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ يُسَلِّمُونَ عَلَيهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَسَأَلْتُ صُهَيباً وَكَانَ مَعَهُ : كَيْفَ كاَنَ النَّبِيُّ  يَفْعَلُ إِذَا كَانَ يُسلَّمُ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟ فَقَالَ: كاَنَ يُشِيْرُ بِيَدِهِ - رواه ابن حِبَّان وابن خُزَيمة وابن ماجة والدارمي والنَّسائي .
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW masuk ke masjid Bani Amr bin `Auf (masjid Quba`). Datanglah beberapa orang dari Anshar memberi salam kepada beliau SAW. Ibnu Umar bertanya kepada Shuhaib yang saat itu bersama Nabi SAW,"Apa yang dilakukan beliau SAW bila ada orang yang memberi salam dalam keadaan shalat?". Shuhaib menjawab,"Beliau memberi isyarat dengan tangannya. (Hr. Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan An-Nasa`i)
إِذَا سُلِّمَ عَلىَ أَحَدِكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلاَ يَتَكَلَّمُ وَلْيُشِرْ بِيَدِهِ - رواه مالك
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berakta,"Bila salah seorang dari kalian diberi salam dalam keadaan shalat, maka janganlah berkata-kata, tetapi hendaklah dia memberi isyarat dengan tangannya". (HR. Malik)
عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ  قَالَ : لَمَّا قَدِمْتُ مِنَ الحَبَشَة أَتَيْتُ النَّبِيَّ  وَهُوَ يُصَلِّي فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَأَوْمَأَ بِرَأْسِهِ - رواه البيهقي
Dari Abi Hurairah dari Ibnu Mas`ud radhiyallahuanhuma berakata : Ketika Aku tiba dari Habaysah, Aku mendatangi Rasulullah SAW yang sedang shalat, lalu Aku memberi salam kepadanya. Beliau pun memberi isyarat dengan kepalanya. (HR. Al-Baihaqi)
12. Makmum Wajib Ikut Imam
Di antara bentuk khuysu` yang Nabi ajarkan adalah bahwa makmum wajib tetap ikut imam, dalam segala gerakannya. Kalau khusyu` diartikan memutuskan hubungan dengan dunia luar, tidak ingat apa-apa dan masuk ke alam lain, tentu seorang makmum tidak akan bisa mengikuti gerakan imam, sebab dia asyik sendiri dengan kontemplasinya.
Padahal tegas sekali Rasulullah SAW memerintahkan buat makmum untuk selalu memperhatikan imamnya. Beliau bersabda :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ – رواه مسلم
Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Bila imam bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Bila imam sujud maka sujudlah kalian. Bila imam bangun dari sujud maka kalian bangunlah dari sujud. Bila imam mengucap sami`allahuliman hamidah, maka ucapkanlah rabbana wa lakal hamdu. Bila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk. (HR. Muslim)
13. Memegang Mushaf
Meski ada khilaf dalam hukum shalat sambil memegang mushaf, namun ada keterangan dari bahwa Aisyah radhiyallahuanha tentang shalat dengan memegang mushhaf.
عَنْ عَائِشَةَ ض زَوْجِ النَّبِيِّ  أَنَّهَا كَانَ يَؤُمُّهَا غُلامُهَا ذَكْوَان فيِ المُصْحَفِ فيِ رَمَضَان - رواه البيهقي وابن أبي شيبة.
Dari Aisyah istri Rasulullah SAW bawah ghulamnya menjadi imam shalat atas dirinya sambil memegang mushaf. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
رَوَى ابْنُ التَّيْمِي عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ تَقْرَأُ فيِ المُصْحَفِ وَهِيَ تُصَلِّي - رواه عبد الرزاق
Ibnu At-Taimi meriwayatkan dari ayahnya bahwa Aisyah radhiyallahuanha membaca mushaf dalam keadaan shalat. (HR. Abdurrazzaq)
14. Tersenyum
Seorang yang sedang shalat lalu tersenyum, oleh Rasulullah SAW tidak dikatakan shalatnya batal. Beliau menegaskan bahwa yang membatalkan shalat itu adalah tertawa, khususnya bila tertawa dengan mengeluarkan suara bahkan terbahak-bahak.
Dari dari tidak batalnya shalat karena tersenyum adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ جَابِرِ ض عَنِ النَّبِيِّ  قال : التَّبَسُّمُ لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةَ وَلَكنْ القَرقَرة - رواه البيهقي وابن أبي شيبة.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,"Senyum itu tidak membatalkan shalat tetapi yang membatalkan adalah tertawa. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)
لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةُ الكَشَرُ وَلَكِنْ تَقْطَعُهَا القَهْقَهَةُ - ورواه الطبراني
Kelihatan gigi ketika tersenyum tidak membatalkan shalat, yang membatalkan shalat itu adalah tertawa dengan suara keras. (HR. Ath-Thabarani)
15. Membersihkan Tempat Sujud
Bila tempat sujud kotor atau berdebu, seorang yang sedang mau melakukan sujud dibolehkan membersihkannya, asalkan gerakannya sekali saja dan tidak berulang-ulang.
Ini menunjukkan bahwa shalat yang diajarkan oleh Rasulllah SAW tidak harus masuk ke alam lain, sehingga tidak ingat apa-apa atau tidak merasakan rasa sakit. Bahkan sekedar debu yang ada di tempat sujudnya boleh dibersihkan terlebih dahulu.
لاَ تَمْسَحْ وَأَنْتَ تُصَلِّي فَإِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَوَاحِدَة تَسْوِيَةَ الحَصَا رواه أبو داود
Dari Mu`aiqib radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,"Janganlah kalian menyapu (tempat sujud) ketika sedang shalat. Tetapi bila terpaksa dilakukan, lakukan sekali saja untuk menyapu kerikil (HR. Abu Daud)
16. Melirik
كَانَ رَسُولُ اللهِ  يَلْتَفِتُ فيِ صَلاَتِهِ يَمِيناً وَشِمَالاً وَلاَ يُلَوِّي عُنُقَهَ خَلْفَ ظَهْرِهِ.
Rasulullah SAW melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri tanpa menolah (HR. Al-Hakim dan Ibnu Khuzaemah)
17. Berjalan Sambil Shalat
Bahkan beliau pun juga pernah berjalan membukakan pintu untuk Aisyah istrinya, padahal beliau dalam keadaan sedang melakukan shalat sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :
اِسْتَفْتَحْتُ البَابَ وَرَسُولُ الله  يُصَلِّي تَطَوُّعاً وَالبَابُ عَلَى القِبْلَةِ فَمَشَى عَنْ يَمِيْنِهِ أَوْ عَنْ يَسَارِهِ فَفَتَحَ البَابَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلاَّهُ.
Dari Aisyah radhiyalahuanha berkata,"Aku minta dibukakan pintu oleh Rasulullah SAW padahal beliau sedang shalat sunnah, sedangkan pintu ada di arah kiblat. Beliau SAW berjalan ke kanannya atau ke kirinya dan membuka pintu kemudian kembali ke tempat shalatnya. (HR. An-Nasa`i)
Dengan semua fakta di atas, masihkah kita akan mengatakan bahwa shalat khusyu` itu harus selalu berupa kontemplasi ritual tertentu?

Haruskah shalat khusyu` itu membuat pelakunya seolah meninggalkan alam nyata menuju alam ghaib tertentu, lalu bertemu Allah SWT seolah pergi menuju sidratil muntaha bermikraj? Benarkah shalat khusyu` itu harus membuat seseorang tidak ingat apa-apa di dalam benaknya, kecuali hanya ada wujud Allah saja? Benarkah shalat khusyu` itu harus membuat seseorang bersatu kepada Allah SWT?

Kalau kita kaitkan dengan realita dan fakta shalat nabi SAW sendiri, tentu semua asumsi itu menjadi tidak relevan, sebab nabi yang memang tugasnya mengajarkan kita untuk shalat, ternyata shalatnya tidak seperti yang dibayangkan.

Beliau tidak pernah `kehilangan ingatan` saat shalat. Beliau tidak pernah memanjangkan shalat saat jadi imam shalat berjamaah, kecuali barangkali hanya pada shalat shubuh, karena fadhilahnya.

Kalaupun diriwayatkan beliau pernah shalat sampai bengkak kakinya, maka itu bukan shalat wajib, melainkan shalat sunnah. Dan panjangnya shalat beliau bukan karena beliau asyik `meninggalkan alam nyata` lantaran berkontemplasi, namun karena beliau membaca ayat-ayat Al-Quran dengan jumlah lumayan banyak. Tentunya dengan fasih dan tartil, sebagaimana yang Jibril ajarkan.

Bahkan beliau pernah membaca surat Al-Baqarah (286 ayat), surat Ali Imran (200 ayat) dan An-Nisa (176 ayat) hanya dalam satu rakaat. Untuk bisa membaca ayat Quran sebanyak itu, tentu seseorang harus ingat dan hafal apa yang dibaca, serta tentunya memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam tiap ayat itu. Kalau yang membacanya sibuk `berkontemplasi dengan dunia ghaib`, maka tidak mungkin bisa membaca ayat sebanyak itu.

Maka shalat khusyu` itu adalah shalat yang mengikuti nabi SAW, baik dalam sifat, rukun, aturan, cara, serta semua gerakan dan bacaannya. Bagaimana nabi SAW melakukan shalat, maka itulah shalat khusyu`.

Dan ibarat seorang pengemudi di jalan raya, dikatakan khusyu` kalau dia konsentrasi dalam berkendaraan. Konsentrasi yang dimaksud tentu bukan berarti matanya tertutup atau telinganya disumbat sehingga tidak melihat atau mendengar apapun, agar konsentrasi.
Malah bila dia melakukan hal-hal di atas, besar kemungkinan akan terjadi kecelakaan di jalan. Sebab apa yang dilakukannya bukan konsentrasi, melainkan menutup diri dari semua petunjuk dan lalu lalang di jalan raya.
Maka seorang yang shalat dengan khusyu` bukanlah orang yang shalat dengan menutup mata, telinga dan diri dari keadaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, justru orang yang shalatnya khusyu` itu adalah orang yang sangat peduli dan sadar atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya serta situasi yang ada saat itu.

Nonton Bola di Stadion, gak Shalat?

Bismillah, alhamdulillah, saya mendapat artikel yang bagus sekali dari ustadz saya Bapak Ahmad Sarwat, insya allah bermanfaat.    

Pertandingan sepakbola biasanya dimulai pukul 19.00 atau jam 7 malam. Tetapi para penonton harus sudah masuk ke dalam stadion beberapa jam sebelumnya, agar kebagian tempat duduk. Yang jadi masalah, dimanakah mereka melaksanakan shalat maghrib, padahal jumlah mereka mencapai 70 ribuan orang?



Seandainya semua turun ke lapangan dan shalat berjamaah, rasanya lapangan bola itu pun tidak muat menampungnya. Lagian yang juga perlu dipikirkan, bagaimana dengan antrian wudhu`-nya, pasti panjang sekali.

Sementara kita tahu bahwa waktu shalat Maghrib itu sedikit sekali, yaitu sejak matahari terbenam hingga hilangnya mega merah di ufuk barat. Menuurt jadwal, pada tanggal 29 Desember pas final Timnas piala AFF, terjadwal waktu Maghrib jatuh jam 18.08 wib.

Ini berarti, kalau seorang penonton bola sudah berwudhu` sebelumnya dan sudah siap untuk shalat Maghrib, dia hanya punya waktu kurang dari 1 jam untuk melaksanakan shalat.

Kalau jumlah orang yang shalat itu 10 atau 20 orang, rasanya tidak masalah. Tetapi kalau yang harus shalat itu 70 ribu orang, di tempat yang sama dalam rentang waktu hanya 50-an menit saja, maka hitung-hitungan di atas kertas, rasanya sulit bisa terlaksana.

Lalu apakah hanya lantaran mau nonton bola di stadion kita rela tidak shalat Maghrib? Padahal shalat Maghrib termasuk salah satu rukun Islam, yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, bukan hanya dosa besar, tetapi mendapatkan murka besar dari Allah. Apalagi alasannya cuma sekedar mau nonton bola.

Jama` Shalat Maghrib

Ada seorang murid pengajian yang bertanya,"Ustadz, bukannya shalat Maghrib boleh dijama`? Kan agama ini mudah dan tidak menyusahkan?".

Temannya yang duduk di sampingnya langsung menyikutnya seraya berkomentar,"Hus, menjama` shalat itu ada aturannya, masak nonton bola boleh jadi alasan buat menjama`?".

Ya, menjama` shalat sih memang disyariatkan, tetapi dari semua penyebab kebolehannya, seperti safar, sakit, haji, bencana dan lainnya, tidak ada satu pun yang judulnya nonton bola atau main bola.

Kecuali bila yang nonton itu berstatus musafir, misalnya mereka asalnya dari luar kota yang minimal berjarak 90-an Km. Kalau penonton dari Bandung, Jogja, Surabaya dan sejenisnya, tentu boleh menjama` shalat di Jakarta, karena status mereka sebagai musafir.

Shalat Ashar Ikut Terancam Juga

Sebenarnya yang terancam akan terlewat bukan hanya shalat Maghrib, tetapi juga shalat Ashar. Sebab kalau melihat kenyataannya, para penonton bola di GBK itu tidak berangkat dari rumah setelah shalat Ashar.

Ini bukan nonton bioskop di mal yang bisa datang kapan saja karena studionya tidak cuma satu dan filmnya diputar ulang tiap 1,5 jam setiap hari. Tetapi ini sebuah perhelatan besar yang terkait dengan kemacetan parah yang melanda jalan-jalan ibukota, khususnya di seputar Senayan. Tiketnya pun tidak murah, belinya pakai antri seharian sambil rebutan.

Maka semua penonton pasti sudah bersiap-siap sejak pagi hari bahkan, sekedar untuk bisa masuk stadion tanpa terhambat atau terlambat. Dan justru disitulah masalahnya, lalu puluhan ribu penonton itu pada shalat Ashar dimana ya?

Saya khawatir jangan-jangan memang para penonton itu kurang peduli dengan urusan shalat, bukan karena sekedar bela-belain nonton pertandingan langsung di stadion. Jangan-jangan dalam kesehariannya, semoga tidak benar asumsi ini, memang pada kurang serius dalam urusan shalat wajib ini.

Buktinya, tiap sore menjelang Maghrib, jalan di dekat rumah saya itu selalu macet parah dua arah. Maklumlah, di jantung jalan Satrio itu ada dua mal besar yang menyedot banyak pengunjung tanpa jembatan penyeberangan. Tak terhitung jumlah kendaran yang bermacet-macet disitu, kalau cuma seribu sih rasanya lebih.

Di dalam mal sendiri, pengunjung pun membeludak pada jam-jam Maghrib itu, melebihi jam lainnya. Mungkin pas dengan jam orang pulang kantor.

Tempat shalat bukannya tidak ada, pemilik mal memang menyediakannya, bahkan bukan hanya satu tetapi ada beberapa lokasi. Tetapi yang saya tahu persisi, ukurannya terlalu sempit, paling banyak hanya muat 10 atau 20 orang saja, itu pun wudhu`nya harus antri panjang.

Kalau sekali shalat butuh waktu 10 menit, maka mushalla mungil itu maksimal hanya bisa untuk menampung 200 orang untuk Shalat Maghrib, karena durasi waktu Maghrib hanya 60-an menit saja. Angaplah ada 5 mushalla, maka maksimal yang bisa ditampung hanya 1.000-an orang saja.

Padahal jumlah pengunjung mal itu bisa beribu-ribu jumlahnya. Artinya, kalau semua pengunjung mal itu muslim dan punya perhatian serius dengan urusan shalat fardhu, tetap saja tempatnya tidak muat.

Tetapi yang saya perhatikan, kebanyakannya memang pada tidak shalat, walau pun mengaku beragama Islam. Alasan yang paling klasik antara lain, nanti saja sekalian dijama`, atau alasan ragu-ragu pakaiannya takut najis, atau selusin alasan lainnya yang -terus terang saja- memang `sangat kreatif`.

Hal yang sama juga sering saya perhatikan di perjalanan, seperti kereta api jarak jauh atau bus malam. Untuk shalat Shubuh, biasanya para penumpang lebih memilih untuk tidak shalat. Yang shalat di atas kendaraan memang ada, tetapi jumlahnya cuma satu dua orang saja. Itu pun kalau mau shalat, biasanya celingukan dulu tengok kanan kiri, entah karena malu, sungkan atau kurang pe-de.

Padahal kalau urusan kurang pe-de, seharusnya yang tidak pe-de itu justru yang tidak shalat. Tetapi yang terjadi malah terbalik, yang mau shalat malah tidak pe-de.

Padahal, sabda Nabi SAW masih jelas terngiang :

Amal seorang hamba yang akan dihisab pertama kali di hari kiamat adalah shalatnya.

Susah nanti kita menjawabnya, ketika diabsen oleh malaikat tentang shalat kita di akhirat, kenapa tanggal 29 Desember 2010 tidak shalat Maghrib? Masak sih kita jawab, wah sory banget, soalnya waktu itu lagi nonton bola.

Ups, wrong answer!!

Jangan protes kalau kita habis itu langsung digebukin malaikat adzab. Lagian, masak cuma alasan nonton bola sampai tidak shalat? Nalarnya nggak nyambung.